Selama puluhan tahun, di Indonesia berkembang anggapan bahwa masyarakat yang memakan beras lebih “terhormat”, lebih “modern”, dan lebih “berbudaya”, dibandingkan masyarakat yang mengkomsumsi jagung, ubi, keladi, atau sagu sebagai bahan pangan pokok lainnya.
Pemahaman ini semakin dikuatkan oleh politik pangan pemerintah yang “memaksakan” beras menjadi makanan pokok seluruh rakyat negeri yang Bhinneka Tunggal Ika ini. Pemerintah menganggap bahwa ekonomi suatu keluarga dikatakan sejahtera apabila keluarga itu sanggup makan nasi. Politik pangan ini semakin diperparah dengan kebijakan penyaluran beras miskin (raskin). Seolah-seolah semua rakyat miskin di negeri ini membutuhkan beras sebagai makanan pokok. Padahal makanan pokok hanyalah salah satu sumber asupan karbohidrat yang juga bisa diperoleh dari berbagai bahan pangan lain.
Sagu misalnya, menurut Prof. Astawan dari IPB, hasil penelitian menunjukkan bahwa tepung sagu memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, yaitu mengandung 84,7 g per 100 g bahan. Kadar karbohidrat tersebut setara dengan yang terdapat pada tepung beras, singkong, dan kentang. Bahkan dibandingkan dengan jagung dan terigu, kandungan karbohidrat sagu relatif lebih tinggi. Kandungan energi dalam 100 gram tepung sagu (353 kkal) hampir setara dengan bahan pangan pokok lain berbentuk tepung, seperti beras, jagung, singkong, kentang, dan terigu. (Kompas, 05/03/04)
Lebih lanjut Prof. Carmencita dari UNPAD mengatakan bahwa ditinjau dari segi gizi, singkong, sagu, ataupun beras sama- sama membutuhkan lauk-pauk yang baik untuk memperoleh gizi seimbang bagi tubuh. Tidak bisa hanya menggantungkan pada nasi semata tanpa lauk-pauk lain untuk mendapat makanan bergizi baik (Kompas, 17/01/04). Dalam prakteknya nenek moyang orang Mentawai begitu cerdasnya yang secara turun-temurun telah menerapkan konsep diversifikasi komsumsi pangan, yaitu dengan mengkombinasikan sagu dengan ikan-termasuk lokan-dan hewan (sebagai sumber protein) dan berbagai sayuran (sebagai sumber vitamin, mineral, antioksidan, dan serat pangan) untuk mendapatkan gizi seimbang.
Sebenarnya tidak ada alasan untuk mengganti sagu dengan beras. Namun anehnya, dalam acara Pelatihan Kelompok Tani 2004 yang diadakan di Hotel Pangeran City Padang beberapa waktu yang lalu, M. Iqbal Salakkau, Staf Seksi Penyuluhan Dinas Pertanian dan Peternakan Kab. Kep Mentawai mengatakan bahwa masyarakat perlu merubah pola pertanian dari sagu ke beras (Haluan, 22/07/04, Singgalang, 23/07/04).
Membicarakan sagu (Metroxylon sagu) di Mentawai pastilah selalu merujuk ke Siberut, karena masyarakat asli Mentawai di pulau ini umumnya masih mengkomsumsi sagu sebagai makanan pokok. Ada beberapa alasan mengapa kita harus tetap mempertahankan sagu di Siberut dan tidak menggantinya dengan beras.
Pertama, hanya sedikit lahan di Siberut yang sesuai untuk tanaman padi, yaitu sekitar 7%-10% dari luas total Siberut. Lahan ini umumnya lahan gambut yang terdapat pada satuan lahan (land unit) alluvial dan marin di pesisir timur Siberut. Itu pun tidak semua tanah pada kedua satuan lahan tersebut dapat dibuat persawahan. Pada tanah Hydraquents, Tropohemists, dan Troposamments pembuatan sawah sama sekali tidak direkomendasikan. Kalaupun pada kedua satuan lahan tersebut dibuka menjadi persawahan, maka harus mengeluarkan investasi yang cukup besar untuk pembiayaan masukan teknologi berupa pengaturan tata air, pengendalian erosi, pelumpuran dan banjir, peningkatkan kesuburan tanah, dan tindakan konservasi. Karena kedua satuan lahan ini memiliki sistem drainase yang buruk, kandungan unsur hara yang miskin, serta sangat rawan terhadap erosi, pelumpuran dan banjir yang berasal dari satuan lahan di atasnya. Dengan demikian investasi pembukaan sawah dan biaya perawatan yang harus dikeluarkan untuk budidaya padi tidak sebanding dengan produksi beras yang dihasilkan. Kita harus belajar dari kasus kegagalan mega proyek penuh ambisius yang dilakukan oleh Soeharto pada pembukaan lahan sejuta hektar di lahan gambut Kalimantan Tengah, karena persoalan keterbatasan daya dukung lahan (carrying capacity) dan pembiayaan.
Kedua, tanaman sagu, kebun campuran, bakau, dan semak belukar umumnya terdapat pada satuan lahan alluvial dan marin. Ekosistem pada kedua satuan lahan ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan ekosistem lainnya yang terdapat di Siberut. Perubahan ekosistem karena ketidakcermatan dalam pembukaan lahan sawah untuk tanaman monokultur padi akan mempengaruhi ekosistem lainnya, dan pada gilirannya akan merusak karakter hidro-orologis Siberut yang memang sangat rawan. Pada akhirnya kerusakan ini bukan hanya berdampak pada manusia, flora, fauna, dan bencana alam, tetapi juga akan turut menyusutkan luasan P. Siberut dalam jangka panjang.
Ketiga, Sagu merupakan makanan pokok yang merupakan bagian dari budaya masyarakat asli Siberut yang telah diwariskan sejak turun temurun. Tidak ada budaya menamam padi bagi masyarakat asli Siberut. Kalaupun ada yang mencoba menanam padi, itu karena proyek pemerintah dan pengaruh dari para pendatang, itu pun umumnya tidak berhasil. Seorang bapak dari Salappa’ yang sudah biasa ke Padang mengatakan bahwa rasanya belumlah makan kalau belum makan sagu. Sama seperti orang Jawa yang merasa belum makan kalau belum makan nasi. Membiasakan makan nasi bagi masyarakat Siberut hanya akan membuat masyarakat sangat tergantung pada beras. Padahal kalaupun sawah dibuka, maka hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan beras masyarakat Siberut saja pun tidak mencukupi karena keterbatasan luasan lahan dan daya dukung lahan, sehingga mau tidak mau beras harus diimpor dari luar. Padahal harga beras di Siberut sangat tinggi dan daya beli masyarakat masih sangat rendah. Apalagi Indonesia merupakan pengimpor beras terbesar di dunia yang harga beras lebih ditentukan oleh pasar global dan kebijakan Jakarta. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi kemudian jika masyarakat telah terbiasa dengan beras, sementara untuk membeli beras tidak sanggup, maka ancaman kelaparan akan terbuka lebar.
Mencermati alasan-alasan di atas, maka pernyataan M. Iqbal Salakkau yang notabene putera asli Siberut, tentang perlunya masyarakat Mentawai merubah pola pertanian dari sagu ke beras adalah kekeliruan besar. Sagu telah terbukti selama ini sebagai sumber ketersediaan pangan (food availability), kualitas pangan (food quality), kemudahan memperoleh pangan (food accessibility), serta sekaligus meningkatkan ketahanan pangan (food security) di Mentawai. Justeru seharusnya yang perlu dilakukan Pemda adalah bagaimana agar sagu ditingkatkan budidaya dan produksinya dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, dan bagaimana agar sagu memiliki keunggulan kompetitif yang dapat meningkatkan ekonomi rumah tangga dan membuka lapangan kerja. Di Kalimantan dan Papua, sagu bukan hanya sebagai makanan pokok tetapi juga telah menjadi industri rakyat untuk bahan utama pembuatan kue, mie bihun, dan bahkan untuk campuran pembuatan lem yang dikirim ke Jawa dan bahkan diekspor ke negara-negara Asia Timur, terutama Jepang.
Disamping berupa kapurut dan siobbuk, dari bahan dasar sagu juga dapat dihasilkan beragam produk makanan yang menarik, seperti skotel, aneka keik, kue talam, lompong sagu, puding, kue kenari, kue tart, bolu, atau “kue modern” lainnya. Tergantung kreativitas kokinya. Toh pengolahan bahan sagu hanya menggunakan teknologi sederhana, namun perlu diperhatikan agar tetap higienis. Satu atau dua tahun ke depan, ketika mengikuti acara-acara resmi yang diselenggrakan oleh Pemda Mentawai, saya merindukan suguhan aneka makanan yang terbuat dari bahan sagu sebagai makanan khas dan kebanggan masyarakat Mentawai . Moi pa’?
___________
Frans R. Siahaan adalah Deputi Direktur YCM, tulisan ini pernah dimuat dalam Tabloid Puailiggoubat, No. 55, 1-4 September 2004
1 comment:
Kepulauan Riau berlimpah sagunya. Tapi sewaktuwaktu bisa terjadi kerawanan pangan yang hebat karena makanan pokok adalah beras. Di Mentawai saat ini yang paling menderita pasca gempa adalah penduduk pendatang yang pemakan beras. Sementara penduduk asli masih tegar karena mereka bisa makan apa saja - sagu, talas, pisang, durian atau beras. tapi pendatang hanya bisa beras. Walaupun demikian, saya khawatir dengan pergeseran makanan pokok saat ini. Pada tahun 1991 saya sudah mengamati signifikannya beras dalam menu makanan pokok penduduk di saliguma Siberut Selatan. Di pedalaman (Ugai dan Madobak) juga dijumpai kecenderungan serupa. Memang generasi umur 40 tahun ke atas belum merasa kenyang kalau belum makan sagu atau talas. Tapi generasi yang lebih muda semakin menjadi pemakan beras. Apa lagi generai Mentawai yang terdidik di luar Mentawai. Mereka itu sudah menjadikan beras sebagai makanan pokok utama.
Saya menyarankan agar advokasi atas kebijakan pangan dan pertanian di Mentawai dilakukan secara intensif. Saat ini kebijakan pangan dan pertanian (mulai dari pemerintah pusat sampai pemerintah kabupaten Mentawai)tidak berlandaskan atas keunikan wilayah. Kebijakan saat ini akan membawa penduduk mentawai tergantung pada beras. Ini harus dicegah saat ini juga.
Saat ini saya sedang menyusun proposal mengkaji sistem ketahanan pangan berbasis wilayah (kasus Mentawai) sebagai basis akademis melakukan advokasi kebijakan pangan untuk mentawai.
Post a Comment