Saturday, January 19, 2008

Bulagat Mengalir Sampai Jauh (Analisis Pilkada Mentawai)

oleh Frans R. Siahaan

Dua sahabat, masing-masing dari Siberut dan Sikakap, baru-baru ini mengungkapkan keresahan mereka tentang bom bulagat (uang) yang dijatuhkan para calon kepala daerah di tempat mereka. Dua pemuda yang asli Mentawai ini sangat khawatir bahwa pilkada kali ini hanya akan menghasilkan kepala daerah yang tidak bersih, tidak jujur, tidak adil, tidak berwibawa, dan korup. Asumsi dasar mereka sederhana saja, calon yang begitu royal menaburkan uang, sangat berpotensi menelikung suara rakyat, dan diduga keras akan berusaha mengembalikan uangnya dengan cara mengkorupsi uang rakyat ketika ia menjabat. Mereka sadar betul betapa dahsyatnya pengaruh bom uang dalam membunuh kehidupan demokrasi.

Praktek semacam ini lazim disebut dengan politik uang, walaupun sebenarnya politik uang tidak hanya terjadi pada saat pilkada saja. Repotnya, belum ada definisi yang tegas mengenai apa itu politik uang. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pun istilah ini tidak ditemukan. Namun demikian, berdasarkan pasal 110 UU No. 12/2002 tentang pemilu, politik uang dapat dilihat dari sisi pelaku dan sisi bentuknya yang menjanjikan dan atau memberikan uang dan atau materi lainnya kepada pemilih. Dengan demikian praktek politik uang dapat digolongkan sebagai tindak pidana suap.

Ada dua bentuk praktek politik uang yang diduga keras sudah terjadi dan akan terus terjadi pada pilkada Mentawai. Pertama, praktek beli calon, yakni tindakan membeli partai atau koalisi partai untuk diusung sebagai calon. Praktek ini marak muncul karena hanya partai yang berhak mengajukan calon. Sehingga individu yang memiliki uang akan mudah membeli partai sebagai kendaraan politik untuk maju sebagai calon. Praktek politik uang semacam ini diduga telah mampu memberikan gizi (baca: uang) yang tinggi kepada partai atau individu-individu penguasa partai di Mentawai. Tidak sulit untuk membaca partai atau koalisi partai mana saja di Mentawai yang melakukan praktek illegal ini.

Kedua, praktek beli pengaruh, yakni tindakan membeli individu atau kelompok tertentu di masyarakat untuk mempengaruhi suara pemilih. Praktek ini tumbuh subur karena sistem pilkada kali ini tidak lagi dipilih lewat DPRD, tetapi dipilih langsung oleh rakyat. Karena rakyat langsung yang memilih, maka sangat sulit untuk memastikan loyalitas rakyat pemilih kepada calon. Kalau dulu untuk menjadi kepala daerah cukup aman, mudah dan murah dengan hanya membeli loyalitas anggota DPRD, maka pada pilkada kali ini akan sangat berbeda dan mahal biayanya.

Ketidakpastian loyalitas pemilih, dan mahalnya biaya yang harus ditanggung untuk membeli suara pemilih, membuat praktek beli pengaruh lewat tokoh-tokoh masyarakat lebih efektif dimainkan. Apalagi ikatan primordial antara masyarakat Mentawai dengan tokohnya masih cukup kuat hingga hari ini, sehingga pengaruh tokoh bisa dimanfaatkan untuk mempengaruhi suara pemilih. Karena itu, Anda jangan heran melihat banyak tokoh yang muncul sebagai pendukung calon tertentu di kampung Anda.

Hebatnya lagi, praktek illegal ini tidak hanya dimainkan oleh calon, tetapi juga dengan cerdas ditangkap sebagai peluang bisnis oleh oleh germo-germo politik (meminjam istilah Dr. Tomagola) lokal. Diduga cukup banyak tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, bahkan PNS dan mahasiswa yang mempertontonkan lakon ini. Germo-germo politik ini secara vulgar sedang sibuk menawarkan suara dukungan ke berbagai calon yang sanggup membayar dengan sejumlah uang tertentu. Bagi mereka proyek lima tahunan ini terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja

Kalau di daerah lain tokoh agama dan mahasiswa menjadi benteng penjaga moral dan pengawal demokrasi, di Mentawai tampaknya bisa berbeda ceritanya. Prinsip mereka adalah maju tak gentar membela yang bayar, masa bodoh dengan moral dan demokrasi. Tentunya tidak semua tokoh, PNS dan mahasiswa terlibat praktek illegal ini, masih ada kok yang memiliki moralitas dan identitas.

Kelompok-kelompok oportunis juga cukup jeli membaca peluang bisnis pilkada ini. Mereka menawarkan proposal kepada calon dan membungkusnya dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan, kepemudaan, dan kemahasiswaan, hingga kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan perayaan kemerdekaan 17 Agustus. Saya tidak perlu menyebutkannya secara detil, tetapi Anda bisa lihat sendiri di kampung Anda. Dahsyat betul. Benar-benar ajang pesta pora dan uang mengalir sampai jauh dari hulu hingga hilir.

Masih dalam konteks beli pengaruh, barangkali incumbent adalah calon yang paling perlu untuk diwaspadai. Incumbent punya akses besar terhadap keuangan daerah (APBD), dan kemungkinan memanfaatkannya untuk memenangkan pilkada. Kegiatan seperti pemberian bibit gratis, pembagian beras gratis, peresmian dan sumbangan pembangunan rumah ibadah, serta bantuan uang untuk organisasi keagamaan, pemuda, dan mahasiswa yang dilakukan menjelang pilkada, patut diwaspadai sebagai praktek illegal yang menyalahgunakan uang publik.

Selain praktek-praktek di atas, masih ada paktek-praktek politik uang lainnya yang berpotensi terjadi pada pilkada Mentawai. Pertama, praktek beli penyelenggara pilkada, yakni tindakan menyuap penyelenggara dan pengawas pilkada mulai dari tingkat dusun/desa, kecamatan, hingga kabupaten. Praktek illegal seperti ini bisa dilakukan dengan cara berpihak pada salah satu calon dan merugikan calon lainnya, menggandakan jumlah pemilih, memasukkan surat suara tidak sah, membatalkan surat suara yang sah, hingga memanipulasi hasil perhitungan suara.

Tawaran praktek illegal seperti ini boleh jadi tidak hanya datang dari calon saja, tetapi juga dari oknum penyelenggara dan pengawas pilkada yang nakal. Tawaran biasanya dilakukan kepada calon yang memiliki dana besar dan kedekatan primordial (agama, suku, dan kekerabatan). Kita semua berharap semoga saja hal ini tidak terjadi.

Kedua, praktek beli suara, yakni tindakan memberi uang atau bentuk lainnya kepada pemilih agar pada saat pencoblosan memberikan suaranya kepada calon tertentu. Praktek illegal ini biasanya dilakukan menjelang saat-saat akhir pemilihan, atau dalam bentuk serangan fajar dengan bergerilya dari satu kampung ke kampung lainnya. Bentuknya bisa berupa pemberian kantong-kantong bahan kebutuhan pokok gratis yang disertai uang tunai di dalamnya, pemberian uang rokok, uang makan, hingga uang transport ke tempat pemungutan suara (TPS).

Praktek-praktek politik uang yang dipaparkan di atas adalah praktek illegal yang dilihat dari aspek pengeluaran calon. Dari aspek pemasukan, praktek politik uang juga berpotensi terjadi pada pilkada Mentawai, yakni masuknya aliran-aliran dana illegal, seperti yang dilarang dalam PP No. 6/2005. Persoalannya PP ini hanya mewajibkan pasangan calon untuk melaporkan rekening dana kampanyenya kepada KPUD, sementara partai politik yang mengusungnya tidak wajib. Disinilah peluang masuknya dana-dana illegal yang bersumber dari investor-investor politik yang mencukongi calon. Kepentingan investor politik ini bisa bermacam-macam, mulai dari kapling proyek hingga kapling kekayaan alam Mentawai, yang mereka dapatkan ketika calon yang mereka cukongi berhasil memenangkan pilkada.

Kembali pada keresahan dua pemuda Mentawai tadi, yang rindu akan munculnya kepala daerah yang bersih, jujur, adil, berwibawa, dan tidak korup, maka kita semua wajib mengawasi dan mengawal proses pilkada secara ketat. Biarkan saja bulagat mengalir sampai jauh, dan bahkan mungkin Anda pun menerimanya, tetapi pilihan hendaknya tetap ditujukan pada calon yang menurut Anda mampu membawa perubahan bagi Mentawai. Ingat, pilihan Anda akan sangat menentukan wajah Mentawai lima tahun ke depan.

No comments: