Pendaftaran pasangan calon bupati dan wakil bupati di KPU Mentawai pada 5 Juli lalu tuntas sudah. Seperti diduga sebelumnya, PDIP bersama PDS mengusung pasangan Edison Saleleubaja dan Yudas Sabagalet. Golkar berkoalisi dengan Demokrat mengusung pasangan Aztarmizi dan Aneksius Rulek Sikaraja. PBB dengan PKS, PP dan PIB menjagokan pasangan Antonius Samongilailai dan Panulis Saguntung. Sedangkan PKPI berkoalisi dengan parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD, yaitu PAN, PDK, PSI, dan PKPB untuk mengusung pasangan Stefanushok Satoko dan Mardan Syrbreiny.
PPD sebagai partai politik (parpol) pemenang pemilu legilatif 2004 yang lalu, tampaknya cukup percaya diri untuk mengusung pasangan calonnya sendiri, yaitu Kortanius Sabeleake dan Immerius Sakerebau. Jika tidak ada persoalan dengan persyaratan dan kelengkapan administrasi, maka dipastikan akan ada lima pasangan calon yang akan bertarung pada pilkada Mentawai nanti.
Koalisi parpol ternyata juga bukan tanpa masalah, karena pilihan untuk berkoalisi dan pasangan calon yang diusung telah dan sedang menuai konflik di tingkat internal partai. Hal ini disebabkan proses pencalonan dan calon yang diusung merupakan hasil keputusan yang elitis atau hanya keputusan sepihak pengurus parpol saja, sementara konstituen cenderung di-fait accompli atau tidak dilibatkan sama sekali.
Terlepas dari konflik internal partai, yang menarik untuk dicermati adalah bertarungnya kembali incumbent (kepala daerah/wakil kepala daerah yang masih menjabat dan turut menjadi calon). Kendati mekanisme pilkada saat ini menjadi lebih kompetitif karena dipilih langsung oleh rakyat dan bukan lagi hasil pilihan DPRD, namun tidak mengurangi minat banyak orang untuk meramaikan bursa pilkada Mentawai, termasuk bagi incumbent. Edison Saleleubaja (ES) dan Aztarmizi (Az) merupakan incumbent, sementara calon lainnya adalah new comer (pendatang baru).
Pertanyaannya adalah, seberapa besar peluang incumbent dan new comer untuk memenangkan pertarungan pilkada Mentawai? Analisis dengan menggunakan variabel hasil perolehan suara parpol pada pemilu legislatif 2004 yang lalu tampaknya sangat tidak relevan. Hal ini didasarkan pada fakta hasil pilkada di berbagai daerah sepanjang tahun 2005-2006, bahwa tidak ada korelasi (hubungan) yang kuat antara dukungan rakyat pada parpol pada pemilu legislatif 2004 dengan pilkada. Telah terbukti bahwa parpol yang menang dalam pemilu legislatif banyak mengalami kekalahan telak dalam pilkada. Sedangkan partai kecil atau gabungan partai guram muncul dengan kemenangan meyakinkan.
Analisis dengan menggunakan variabel parpol sebagai mesin politik beserta kekuatan koalisi yang menyertainya pun tampaknya juga tidak relevan. Secara teori, semakin kuat ikatan seseorang dengan parpol, maka semakin kuat pula kecenderungan orang tersebut untuk mendukung keputusan politik yang dibuat parpol, termasuk keputusan parpol untuk mencalonkan bupati. Tetapi ternyata teori politik ini tidak jalan atau menyimpang (anomaly) pada pilkada di banyak daerah di Indonesia.
Sebagai pemilih yang umumnya tinggal di pedesaan dan tingkat pendidikan yang masih rendah, saya yakin betul bahwa masyarakat Mentawai tidak peduli dengan yang namanya visi, misi, dan program yang digunakan calon sebagai platform pada kampanye nanti. Saya juga yakin bahwa janji-janji pada masa kampanye pilkada nanti tidak akan mendapat perhatian serius bagi pemilih. Pemilih sudah ”makan hati” dengan ”makanan” (janji-janji) yang disuguhkan pada pemilu legislatif yang lalu. Karena apa pun ”makanannya”, minumannya tetap ”teh pahit” bagi rakyat.
Lantas, variabel apa yang paling relevan untuk mengukur peluang calon dalam memenangkan pertarungan pilkada Mentawai? Belajar dari banyak kasus pilkada di Indonesia, tampaknya hanya variabel popularitas dan citra positif lah yang merupakan variabel penentu.
Membangun popularitas bukanlah hal yang instan, apalagi hanya dalam hitungan bulan atau pun pada masa kampanye yang 14 hari saja. Popularitas seharusnya dibangun jauh-jauh hari sebelum pilkada berlangsung. Popularitas yang dimaksud disini adalah, apakah para pemilih mengenal calon, dan kalau pun dikenal seberapa jauh pemilih mengenal mereka.
Melihat bursa calon yang ada, paling tidak ada 2 calon yang tidak begitu dikenal luas oleh publik Mentawai. Kedua calon itu lebih banyak menghabiskan karirnya di luar Mentawai. Kalau pun mereka dikenal publik, itu lebih banyak di daerah asalnya. Namun demikian, kita tetap harus mengacungkan jempol terhadap keterpanggilan mereka untuk maju sebagai calon. Paling tidak hal ini akan menjadi pembelajaran penting buat rakyat dalam berdemokrasi dan membuat pilihan-pilihan yang berkualitas. Toh rakyat jua lah yang akan menentukan apakah mereka bisa memenangkan pertarungan pilkada nanti atau tidak.
Hanya mengandalkan popularitas saja ternyata juga tidak cukup untuk memenangkan pertarungan pilkada, meskipun popularitas merupakan persyaratan yang paling mendasar. Masih diperlukan persyaratan lain, yaitu calon harus punya citra positif di mata publik. Kalau seorang calon populer, tapi pemilih memiliki kesan atau persepsi negatif terhadap calon tersebut, maka popularitasnya tidak akan banyak membantu. Hasil pilkada Sumbar tahun lalu contohnya, Mantan Gubernur Zainal Bakar pastilah sangat populer di mata publik Sumbar, mungkin mencapai angka 90%. Tapi sebagian besar dari yang mengenalnya memiliki persepsi negatif terhadap mantan gubernur ini, dan akhirnya dia pun gagal mempertahankan posisinya.
Dari contoh di atas, popularitas seorang incumbent bisa dimaknai ganda oleh publik. Ketika popularitas itu dimaknai sebagai akibat dari kebijakan yang terpuji dan berpihak pada rakyat pada saat menjabat, maka makna ini sudah memberikan modal kuat bagi incumbent. Sebaliknya, kalau popularitas itu dipetik karena kebijakan yang dinilai menyengsarakan rakyat, maka runtuhlah popularitas incumbent itu.
Melihat incumbent yang ikut bertarung, ES dan Az pastilah lebih populer dibandingkan calon lainnya. Modal utama bagi ES dan Az adalah popularitas yang sudah terbangun sejak mereka menduduki jabatan publik sebagai bupati dan wakil bupati, terlepas dari penilaian apakah popularitas itu bermakna positif atau negatif. Kemudian, hubungan yang sudah terjalin dengan berbagai perangkat pemda mulai dari tingkat kabupaten hingga ke tingkat desa/dusun akan memudahkan ES dan Az untuk memobilisasi dukungan. Perluasan basis dukungan akan semakin mudah karena peraturan perundang-undangan tentang pilkada sangat menguntungkan incumbent, yakni kepala daerah/wakil kepala daerah yang hendak maju lagi sebagai calon tidak harus mundur dari jabatannya, tetapi cukup hanya cuti pada masa kampanye saja.
Namun demikian, new comer juga tidak bisa dianggap remeh dan bisa saja memenangkan pertarungan secara tak terduga. Dalam banyak kasus di Sumbar misalnya, new comer mampu mengalahkan incumbent di sejumlah kabupaten/kota, seperti di Kabupaten Pasaman, Dharmas Raya, Pasaman Barat, Solok Selatan, dan Kotamadya Solok. Kemampuan new comer dalam memenangkan pertarungan pilkada lebih pada kejelian mereka untuk merebut popularitas dan membangun citra positif. Disinilah kecerdasan new comer dan tim suksesnya penting untuk membaca situasi dan menyusun strategi.
Dugaan saya pada pilkada Mentawai nanti, sekalipun calon memiliki popularitas, namun memiliki citra negatif sebagai koruptor, memperkaya diri, penimbun harta, penipu rakyat, penyalahguna wewenang, tidak punya kepedulian sosial, mempraktekkan pola hidup hedonis dan tidak bermoral, diduga akan sulit memenangkan pertarungan. Sekali lagi, calon yang mampu merebut popularutas dan membangun citra positif bagi publik Mentawai dalam waktu satu bulan ini, maka dialah yang akan memenangkan pertarungan pilkada nanti. Tentu dengan asumsi bahwa pilkada berlangsung degan fair play dan tidak curang. Selamat bertarung!
No comments:
Post a Comment