oleh Frans R. Siahaan
Fenomena menarik dari pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung sepanjang tahun 2005-2006 di berbagai daerah di Indonesia adalah maraknya berbagai koalisi-koalisian partai politik (parpol). Begitu pula halnya di Mentawai, koalisi berbagai parpol tak pelak lagi akan mewarnai arena pertarungan pilkada yang akan digelar pada tanggal 28 Agustus 2006 nanti. Tulisan ini bermaksud untuk menjelaskan bagaimana kemungkinan komposisi koalisi parpol di Mentawai, bagaimana para pemilih membacanya, dan seberapa efektif koalisi parpol tersebut untuk mendulang suara pada pilkada.
Koalisi menjadi penting karena berdasarkan UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah, maka parpol yang memenuhi persyaratan untuk mendaftarkan pasangan calon kepala daerah sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi di DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD.
Berdasarkan UU tersebut, maka dipastikan hanya PPD (20% kursi di DPRD, 22,33% suara), PDI-P (20% kursi di DPRD, 16,02% suara), dan PDS (15% kursi di DPRD, 9,86% suara) yang memenuhi persyaratan untuk mencalonkan pasangan calon kepala daerah secara independen tanpa harus berkoalisi dengan parpol lainnya, parpol sisanya harus berkoalisi.
Rumor yang berkembang di masyarakat saat ini menunjukkan bahwa kemungkinan PDIP akan berkoalisi dengan PDS. Kemudian, kemungkinan PBB (5% kursi di DPRD, 2.47% suara) akan berkoalisi dengan PKS (5% kursi di DPRD, 2,90% suara), PP (5% kursi di DPRD, 3,59% suara) dan PIB (5% kursi di DPRD, 3,09% di DPRD). Golkar (10% kursi di DPRD, 12,62% suara) kemungkinan akan berkoalisi dengan Demokrat (5% kursi di DPRD, 2,71% suara). Sementara itu, PKPI (10% kursi di DPRD, 7,24% suara) kemungkinan akan berkoalisi dengan parpol yang tidak memiliki kursi di parlemen, bisa dengan Partai Buruh (1,82% suara), PDK (4,10% suara), dan PAN (2,10%), atau merapat dengan parpol lainnya yang tidak memiliki kursi, atau dengan koalisi lainnya, sehingga memenuhi persyaratan akumulasi 15% suara.
Tampaknya hanya PPD yang akan mengajukan calon pasangan sendiri tanpa berkoalisi dengan papol lain. Dengan demikian kemungkinannya akan ada 5 pasangan calon pada pilkada Mentawai nanti. Kemungkinan ini bisa saja berubah menjadi 4 pasangan calon dengan sejumlah perubahan komposisi parpol yang berkoalisi. Hal ini tentunya akan sangat tergantung pada kesepakatan-kesepakatan akhir antara calon pasangan dan parpol yang mengusungnya pada detik-detik terakhir pendaftaran.
Jika rumor komposisi koalisi parpol di atas benar adanya dengan segala kemungkinan perubahannya, maka tampaknya parpol yang berazaskan nasionalis akan berkoalisi dengan parpol yang berazaskan agama. Seperti Partai Patriot (nasionalis) akan berkoalisi dengan PKS (Islam). Kemudian partai yang berseberangan ketika pemilihan presiden dan gubernur sumbar yang lalu, atau yang dulunya tergabung dalam koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan, tampaknya juga akan berkoalisi untuk membangun kerjasama dalam pilkada Mentawai nanti. Seperti Golkar misalnya akan berkoalisi dengan Demokrat. Namun tampaknya PDS sebagai parpol yang berazaskan Kristen tidak akan mungkin berkoalisi dengan PKS atau parpol lainnya yang berasaskan Islam, sekalipun di daerah lain hal itu bisa terjadi, seperti di Dumai misalnya.
Kemudian, hal penting lainnya adalah bahwa rumor pasangan calon yang diusung oleh koalisi parpol tersebut tampaknya kebanyakan bukan berasal dari politisi atau kader-kader parpol yang berkoalisi, tetapi berasal dari luar parpol. Hal ini menjadi bacaan kita untuk menjelaskan bahwa para politisi parpol tidak percaya diri untuk mengusung calon yang berasal dari parpolnya sendiri atau koalisi yang mereka bentuk, bisa jadi karena mereka tidak tidak laku dijual dan tidak populer di mata masyarakat. Bacaan lainnya adalah koalisi parpol ini hanyalah sekedar koalisi akrobatik agar elit-elit politik partai ”berpesta uang” lewat pasangan calon yang sanggup membayar dengan sejumlah harga tertentu.
Komposisi koalisi dan pasangan calon yang diusung juga cukup untuk menjelaskan bacaan bahwa koalisi ini sangat cair dan tidak permanen. Kepentingan parpol untuk berkoalisi bukan didasarkan pada kemiripan azas atau ideologi, apalagi untuk memperjuangkan nasib rakyat Mentawai yang tertindas dan yang rindu akan perubahan, tetapi lebih pada kepentingan praktis untuk merebut kekuasaan, faktor geopolitik lokal (Mentawai dan luar Mentawai), identitas (Orang Siberut, Sikakap atau Sipora), sentimen agama, dan yang paling penting seberapa besar pasangan calon sanggup membayar elit-elit politik partai yang berkoalisi.
Khusus untuk koalisi parpol yang ”maju tak gentar membela yang bayar”, perlu diberi catatan khusus. Pada pilkada Mentawai nanti diduga akan menjadi ajang pesta uang bagi para elit politik. Dapat dikatakan bahwa pilkada Mentawai ini merupakan ladang bisnis atau mega proyek para elit politik partai untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Salah seorang elit politik petinggi parpol yang berkoalisi dan yang juga anggota DPRD Mentawai tanpa malu-malu pernah mengatakan bahwa pilkada inilah kesempatan buat dia dan partainya untuk mengeruk uang dari pasangan calon yang berani membayar dengan sejumlah harga tertentu. Tentunya tidak demikian seluruhnya, saya masih menemukan segelintir orang elit politik partai yang juga anggota DPRD Mentawai yang tetap konsisten dengan keyakinan politiknya dan tidak mau melacurkan diri kedalam permainan politik yang tidak bermoral.
Pertanyaan penting selanjutnya adalah seberapa efektif koalisi ini sebagai mesin politik untuk mendulang suara dalam menggolkan calon pasangan yang diusung? Fakta-fakta hasil pilkada di berbagai kabupaten/kota dan propinsi di Indonesia selama tahun 2005-2006 menunjukkan bahwa tidak ada korelasi (hubungan) yang kuat antara dukungan rakyat pada parpol dalam pemilu legislatif dan dalam pilkada. Bahkan parpol yang menang dalam pemilu legislatif banyak mengalami kekalahan telak dalam pilkada. Sedangkan partai kecil atau gabungan partai guram muncul dengan kemenangan meyakinkan. Jadi, meskipun misalnya PDI-P dan PDS akan berkoalisi dan secara hitugan statistik mengantongi akumulasi suara yang signifikan pada pemilu legislatif yang lalu, yaitu sebanyak 25,89% suara dan 35% kursi di DPRD, tetap tidak ada jaminan bahwa koalisi parpol mereka akan sukses dalam mendulang suara untuk menggolkan pasangan calon yang diusung.
Belum ada penelitian tentang perilaku pemilih di Mentawai, tetapi diperkirakan akan mirip dengan perilaku pemilih di daerah-daerah lainnya di Indonesia sepanjang pilkada 2005-2006. Diperkirakan pilihan yang diberikan para pemilih pada pilkada Mentawai nanti lebih didasarkan pada popularitas pasangan calon dan citra positif yang melekat pada pasangan calon itu, dan bukan pada parpol atau koalisi parpol yang mengusungnya. Hanya pasangan calon yang populer dan memiliki citra yang positiflah yang akan memenangkan pertarungan pilkada Mentawai nanti.
Hal ini memang tidak mengherankan, karena parpol selama ini telah gagal dalam melaksanakan keempat fungsi dasarnya, yaitu sebagai agregator dan articulator (pengumpul dan penyalur aspirasi politik), representator (perwakilan politik), conflict regulator (manajemen konflik), serta educator dan recrutor politik (pendidikan dan rekrutmen politik). Situasi makin diperparah karena parpol sepertinya hanya menjadi milik petinggi parpol dan perkumpulan individu-individu, dan bukan menjadi milik bersama anggotanya. Akhirnya anggota parpol tidak pernah menjadi militan dalam mengusung ideologi dan panji-panji parpolnya, dan wajar-wajar saja mereka tidak mencintai parpolnya. Lihatlah parpol-parpol kita hanya bekerja pada saat menjelang ritual pemilu saja, dengan memobilisasi massa dan pawai arak-arakan yang tidak mencerdaskan rakyat. Setelah ritual pemilu selesai, parpol tidak lagi berkeja alias nyaris tak terdengar.
Kesimpulannya, pada pilkada Mentawai nanti koalisi parpol tidak akan efektif untuk menjamin kesuksesan dalam mendulang suara. Koalisi-koalisi parpol yang ada tidak lebih dari sekedar instrumen (alat) atau tiket untuk pencalonan pasangan bupati dan wakil bupati demi terpenuhinya persyaratan akumulasi 15%, dan ladang bisnis baru bagi elit-elit politik lokal. Tidak Lebih!
Fenomena menarik dari pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung sepanjang tahun 2005-2006 di berbagai daerah di Indonesia adalah maraknya berbagai koalisi-koalisian partai politik (parpol). Begitu pula halnya di Mentawai, koalisi berbagai parpol tak pelak lagi akan mewarnai arena pertarungan pilkada yang akan digelar pada tanggal 28 Agustus 2006 nanti. Tulisan ini bermaksud untuk menjelaskan bagaimana kemungkinan komposisi koalisi parpol di Mentawai, bagaimana para pemilih membacanya, dan seberapa efektif koalisi parpol tersebut untuk mendulang suara pada pilkada.
Koalisi menjadi penting karena berdasarkan UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah, maka parpol yang memenuhi persyaratan untuk mendaftarkan pasangan calon kepala daerah sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi di DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD.
Berdasarkan UU tersebut, maka dipastikan hanya PPD (20% kursi di DPRD, 22,33% suara), PDI-P (20% kursi di DPRD, 16,02% suara), dan PDS (15% kursi di DPRD, 9,86% suara) yang memenuhi persyaratan untuk mencalonkan pasangan calon kepala daerah secara independen tanpa harus berkoalisi dengan parpol lainnya, parpol sisanya harus berkoalisi.
Rumor yang berkembang di masyarakat saat ini menunjukkan bahwa kemungkinan PDIP akan berkoalisi dengan PDS. Kemudian, kemungkinan PBB (5% kursi di DPRD, 2.47% suara) akan berkoalisi dengan PKS (5% kursi di DPRD, 2,90% suara), PP (5% kursi di DPRD, 3,59% suara) dan PIB (5% kursi di DPRD, 3,09% di DPRD). Golkar (10% kursi di DPRD, 12,62% suara) kemungkinan akan berkoalisi dengan Demokrat (5% kursi di DPRD, 2,71% suara). Sementara itu, PKPI (10% kursi di DPRD, 7,24% suara) kemungkinan akan berkoalisi dengan parpol yang tidak memiliki kursi di parlemen, bisa dengan Partai Buruh (1,82% suara), PDK (4,10% suara), dan PAN (2,10%), atau merapat dengan parpol lainnya yang tidak memiliki kursi, atau dengan koalisi lainnya, sehingga memenuhi persyaratan akumulasi 15% suara.
Tampaknya hanya PPD yang akan mengajukan calon pasangan sendiri tanpa berkoalisi dengan papol lain. Dengan demikian kemungkinannya akan ada 5 pasangan calon pada pilkada Mentawai nanti. Kemungkinan ini bisa saja berubah menjadi 4 pasangan calon dengan sejumlah perubahan komposisi parpol yang berkoalisi. Hal ini tentunya akan sangat tergantung pada kesepakatan-kesepakatan akhir antara calon pasangan dan parpol yang mengusungnya pada detik-detik terakhir pendaftaran.
Jika rumor komposisi koalisi parpol di atas benar adanya dengan segala kemungkinan perubahannya, maka tampaknya parpol yang berazaskan nasionalis akan berkoalisi dengan parpol yang berazaskan agama. Seperti Partai Patriot (nasionalis) akan berkoalisi dengan PKS (Islam). Kemudian partai yang berseberangan ketika pemilihan presiden dan gubernur sumbar yang lalu, atau yang dulunya tergabung dalam koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan, tampaknya juga akan berkoalisi untuk membangun kerjasama dalam pilkada Mentawai nanti. Seperti Golkar misalnya akan berkoalisi dengan Demokrat. Namun tampaknya PDS sebagai parpol yang berazaskan Kristen tidak akan mungkin berkoalisi dengan PKS atau parpol lainnya yang berasaskan Islam, sekalipun di daerah lain hal itu bisa terjadi, seperti di Dumai misalnya.
Kemudian, hal penting lainnya adalah bahwa rumor pasangan calon yang diusung oleh koalisi parpol tersebut tampaknya kebanyakan bukan berasal dari politisi atau kader-kader parpol yang berkoalisi, tetapi berasal dari luar parpol. Hal ini menjadi bacaan kita untuk menjelaskan bahwa para politisi parpol tidak percaya diri untuk mengusung calon yang berasal dari parpolnya sendiri atau koalisi yang mereka bentuk, bisa jadi karena mereka tidak tidak laku dijual dan tidak populer di mata masyarakat. Bacaan lainnya adalah koalisi parpol ini hanyalah sekedar koalisi akrobatik agar elit-elit politik partai ”berpesta uang” lewat pasangan calon yang sanggup membayar dengan sejumlah harga tertentu.
Komposisi koalisi dan pasangan calon yang diusung juga cukup untuk menjelaskan bacaan bahwa koalisi ini sangat cair dan tidak permanen. Kepentingan parpol untuk berkoalisi bukan didasarkan pada kemiripan azas atau ideologi, apalagi untuk memperjuangkan nasib rakyat Mentawai yang tertindas dan yang rindu akan perubahan, tetapi lebih pada kepentingan praktis untuk merebut kekuasaan, faktor geopolitik lokal (Mentawai dan luar Mentawai), identitas (Orang Siberut, Sikakap atau Sipora), sentimen agama, dan yang paling penting seberapa besar pasangan calon sanggup membayar elit-elit politik partai yang berkoalisi.
Khusus untuk koalisi parpol yang ”maju tak gentar membela yang bayar”, perlu diberi catatan khusus. Pada pilkada Mentawai nanti diduga akan menjadi ajang pesta uang bagi para elit politik. Dapat dikatakan bahwa pilkada Mentawai ini merupakan ladang bisnis atau mega proyek para elit politik partai untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Salah seorang elit politik petinggi parpol yang berkoalisi dan yang juga anggota DPRD Mentawai tanpa malu-malu pernah mengatakan bahwa pilkada inilah kesempatan buat dia dan partainya untuk mengeruk uang dari pasangan calon yang berani membayar dengan sejumlah harga tertentu. Tentunya tidak demikian seluruhnya, saya masih menemukan segelintir orang elit politik partai yang juga anggota DPRD Mentawai yang tetap konsisten dengan keyakinan politiknya dan tidak mau melacurkan diri kedalam permainan politik yang tidak bermoral.
Pertanyaan penting selanjutnya adalah seberapa efektif koalisi ini sebagai mesin politik untuk mendulang suara dalam menggolkan calon pasangan yang diusung? Fakta-fakta hasil pilkada di berbagai kabupaten/kota dan propinsi di Indonesia selama tahun 2005-2006 menunjukkan bahwa tidak ada korelasi (hubungan) yang kuat antara dukungan rakyat pada parpol dalam pemilu legislatif dan dalam pilkada. Bahkan parpol yang menang dalam pemilu legislatif banyak mengalami kekalahan telak dalam pilkada. Sedangkan partai kecil atau gabungan partai guram muncul dengan kemenangan meyakinkan. Jadi, meskipun misalnya PDI-P dan PDS akan berkoalisi dan secara hitugan statistik mengantongi akumulasi suara yang signifikan pada pemilu legislatif yang lalu, yaitu sebanyak 25,89% suara dan 35% kursi di DPRD, tetap tidak ada jaminan bahwa koalisi parpol mereka akan sukses dalam mendulang suara untuk menggolkan pasangan calon yang diusung.
Belum ada penelitian tentang perilaku pemilih di Mentawai, tetapi diperkirakan akan mirip dengan perilaku pemilih di daerah-daerah lainnya di Indonesia sepanjang pilkada 2005-2006. Diperkirakan pilihan yang diberikan para pemilih pada pilkada Mentawai nanti lebih didasarkan pada popularitas pasangan calon dan citra positif yang melekat pada pasangan calon itu, dan bukan pada parpol atau koalisi parpol yang mengusungnya. Hanya pasangan calon yang populer dan memiliki citra yang positiflah yang akan memenangkan pertarungan pilkada Mentawai nanti.
Hal ini memang tidak mengherankan, karena parpol selama ini telah gagal dalam melaksanakan keempat fungsi dasarnya, yaitu sebagai agregator dan articulator (pengumpul dan penyalur aspirasi politik), representator (perwakilan politik), conflict regulator (manajemen konflik), serta educator dan recrutor politik (pendidikan dan rekrutmen politik). Situasi makin diperparah karena parpol sepertinya hanya menjadi milik petinggi parpol dan perkumpulan individu-individu, dan bukan menjadi milik bersama anggotanya. Akhirnya anggota parpol tidak pernah menjadi militan dalam mengusung ideologi dan panji-panji parpolnya, dan wajar-wajar saja mereka tidak mencintai parpolnya. Lihatlah parpol-parpol kita hanya bekerja pada saat menjelang ritual pemilu saja, dengan memobilisasi massa dan pawai arak-arakan yang tidak mencerdaskan rakyat. Setelah ritual pemilu selesai, parpol tidak lagi berkeja alias nyaris tak terdengar.
Kesimpulannya, pada pilkada Mentawai nanti koalisi parpol tidak akan efektif untuk menjamin kesuksesan dalam mendulang suara. Koalisi-koalisi parpol yang ada tidak lebih dari sekedar instrumen (alat) atau tiket untuk pencalonan pasangan bupati dan wakil bupati demi terpenuhinya persyaratan akumulasi 15%, dan ladang bisnis baru bagi elit-elit politik lokal. Tidak Lebih!
No comments:
Post a Comment