Cara membaca judul di atas adalah, Polisi dan Jaksa di Mentawai tidak mampu memberantas korupsi. Betapa tidak? Tak satu pun kasus-kasus korupsi di Mentawai yang berhasil dibongkar dan dituntaskan oleh Polres dan Kejari Mentawai hingga hari ini.
Ketika kasus illegal logging Mentawai yang sarat dengan muatan korupsi ditangani oleh Polda Sumbar, dan kasus korupsi website mentawaionline ditangani oleh Kejati Sumbar, seharusnya ini menjadi tamparan telak bagi Polres dan Kejari Mentawai. Karena kedua kasus ini berada di wilayah kerja mereka. Tetapi mengapa justeru kedua kasus ini ditangani oleh Polda dan Kejati Sumbar? Pertanyaan yang seharusnya perlu direnungkan oleh Polres dan Kejari Mentawai.
Sekalipun dalam beberapa kali konferensi pers Kapolda dan Kajati menyatakan bahwa kasus-kasus Mentawai yang sedang mereka tangani saat ini merupakan hasil operasi intilijen, rasanya sulit untuk tidak percaya bahwa pastilah data-data kasus di atas ”dilaporkan” oleh pihak-pihak yang sudah gerah dengan perilaku korup pejabat-pejabat Mentawai yang vulgar. Menurut informasi yang Saya dapatkan, bahwa ”si pelapor” lebih percaya kepada Polda dari pada Polres, lebih percaya kepada Kejati dari pada Kejari. Sekali pun mungkin tidak sepenuhnya percaya 100%. Sekali lagi, ini soal kepercayaan Bung. Persoalan kapasitas rasanya standar dan tidak jauh beda, bukankah seluruh Polisi dan Jaksa di republik ini berasal dari pusat pelatihan dengan kurikulum yang sama?
Kasus illegall logging Mentawai dari hasil investigasi MAIL (2005) sangat erat hubungannya dengan korupsi kekuasaan dan korupsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dilakukan otoritas pejabat Mentawai. Paling tidak pintu masuk ke arah itu telah sedikit terbuka ketika masyarakat Saurenuk mengadukan kasus penyerobotan lahan dan pencurian kayu yang dilakukan oleh koperasi, perusahaan kayu dan keterlibatan pejabat kehutanan Mentawai ke Polres. Tetapi Polisi gagal untuk merespon informasi penting yang disampaikan masyarakat ini.
Begitu pula dengan kasus karupsi website mentawaionline, kasus ini sudah beberapa kali dimuat Pualiggoubat dalam pemberitaanya pada tahun 2004 yang lalu. Tetapi Polisi dan Jaksa menganggap sepi informasi ini dan mereka tidak kunjung bergerak. Saya yakin betul bahwa aparat in*****jen Polres dan Kejari Mentawai pastilah pernah membaca kasus ini, karena salah satu kegiatan rutin yang dilakukan para intel adalah meng-kliping infor-info penting yang dimuat media. Atau mungkin mereka hanya sekedar meng-kliping beritanya saja tanpa pernah memahami substansinya? Atau jangan-jangan mereka memang sama sekali tidak bekerja? Ndak taulah.
Sebenarnya banyak kasus dugaan korupsi yang sudah tercium baunya dan menjadi pembicaraan masyarakat banyak di Mentawai saat ini. Misal, dugaan korupsi pendidikan, infrastruktur (termasuk telekomunikasi), toponimi, radio, irigasi, alat berat, kapal, dan sebagainya yang nilainya milyaran rupiah. Tetapi tak satu pun kasus-kasus di atas berhasil dibongkar dan dituntaskan oleh Polisi dan Jaksa hingga hari ini.
Dalam beberapa kasus, Polisi di Mentawai malah banyak menelantarkan perkara tanpa ada kabar beritanya. Kasus yang paling anyar adalah pengaduan masyarakat Saurenu yang mengadukan koperasi, perusahaan kayu dan pejabat kehutanan Mentawai yang sampai sekarang belum ada kejelasan tindak lanjutnya. Padahal kasus ini sudah dilaporkan ke Polres sejak bulan Februari yang lalu. Ini menunjukkan sikap diskriminatif Polisi dalam penegakan hukum. Tetapi coba kita perhatikan kalau yang diadukan itu rakyat kecil, tampak akan lain ceritanya. Ini menunjukkan sebuah realitas bahwa hukum hanya tegas pada rakyat jelata, tetapi tumpul dan bergeming pada materi dan kekuasaan. Hukum di Mentawai hari ini seolah telah mendengungkan lonceng kematiannya. Persis seperti ungkapan Hugo Black, there can be no equal justice where the kind of trial a man gets depend on the amount of he has (tak akan pernah tercapai keadilan jika keadilan masih didasarkan pada besar kecilnya materi yang didapat).
Kita memang sering mendengar rumor di Mentawai tentang kepala-kepala dinas dan pimpinan-pimpinan proyek yang sering dipanggil ke kantor Polisi dan Kejaksaan dalam suatu dugaan kasus korupsi, atau malah Polisi dan Jaksa yang mendatangi kantor mereka. Tetapi kasusnya lenyap ditelan bumi dan tidak pernah kunjung dibawa ke pengadilan. Ada kesan kuat di masyarkat bahwa kegiatan ini hanyalah ”unjuk kekuasaan” Polisi dan Jaksa yang ujung-ujungnya adalah dugaan pemerasan.
Publikasi hasil penelitian Transparency International Indonesia (TII) Tahun 2004 menyebutkan bahwa Kepolisian merupakan satu dari tiga instansi paling korup di republik ini. Hal tersebut tidak mengejutkan dan bukan hal baru, karena selama ini masyarakat sudah lama tahu bahwa institusi Kepolisian tidak bersih dari korupsi. Mulai dari korupsi kecil-kecilan di tingkat operasi tilang kendaraan bermotor di jalan raya hingga korupsi besar semacam beking-membeking kegiatan illegal logging yang bernilai miliaran rupiah. Banyak aparat Polisi keranjingan bertindak mengabaikan hukum (disregarding the law), cenderung berlaku tidak hormat terhadap hukum (disrespecting the law), bersikap korup dan memeras (Satjipto Rahardjo, 2005).
Menurut Tamrin Tomagola (2005), lembaga kejaksaan jauh lebih parah lagi dan sangat vulgar memeras para tersangka. Besarnya uang perasan sangat tergantung kepada besarnya kasus yang melibatkan pelaku. Bahkan mulai dari berita acara pemeriksaan, penahanan hingga soal penangguhan penahanan bisa dinegosiasikan, tergantung besar kecilnya upeti (Taufik Ruki-KPK, 2005).
Kelakukan Polisi dan Jaksa seperti ini hampir tidak ada bedanya dengan pemerasan yang dilakukan preman. Bedanya hanya preman tidak berseragam sementara Polisi dan Jaksa berseragam. Kemudian preman dibiayai oleh orang-orang yang diperas sementara Polisi dan Jaksa dibiayai oleh negara. Tetapi perilakunya sama atau beti (beda-beda tipis). Saya tidak tau apakah demikian juga ceritanya di Mentawai, biarlah masyarakat Mentawai sendiri yang menilai.
Korupsi di Mentawai dapat dilihat dari sekolah-sekolah yang rubuh walaupun tidak ada guncangan gempa di atas 7,5 Skala Richter, sekolah-sekolah tidak layak pakai walau umur bangunannya baru 2 tahun, jalan-jalan berlobang seperti kubangan kerbau walaupun tiap tahun milyaran rupiah dikucurkan untuk biaya perawatan, saluran irigasi hanya berumur 3 bulan padahal masyarakat belum sempat menggunakannya, dan sebagainya. Dampak korupsi sudah sangat jelas membuat masyarakat Mentawai menderita, karena itu sudah seharusnya Polisi dan Jaksa di Mentawai menjadi penegak hukum yang berwatak protagonis (meminjam istilah Prof. Satjipto Raharjo). Protagonis adalah pro-rakyat, yaitu pro-penderitaan rakyat. Masyarakat Mentawai sudah lama menantikan aksi kongkrit Polisi dan Jaksa dalam mengungkap kasus-kasus korupsi. Apalagi korupsi di Mentawai memiliki rezim yang kokoh, jejaringnya ke mana-mana dari hulu hingga ke hilir, dari pusat kabupaten hingga ke dusun-dusun, walaupun aktor intelektualnya tetap lebih banyak berada di pusat kabupaten.
Tulisan ini ingin menyimpulkan bahwa Polisi dan Jaksa di Mentawai belum responsif dalam mengusung agenda pemberantasan korupsi, dan tampaknya masyarakat Mentawai harus menunggu entah sampai kapan untuk memiliki Polisi dan Jaksa yang benar-benar berdedikasi besar, melayani dan melindungi rakyat Mentawai. Padahal semua instrumen anti korupsi telah ada di tangan Polisi dan Jaksa.
Pak Polisi dan Pak Jaksa, Anda mau tunggu apa lagi? Alat kekuasaan untuk membongkar semua kasus-kasus korupsi di Mentawai telah ada di tangan Anda. Persoalannya hanyalah apakah Anda mau menjadi Polisi dan Jaksa yang protagonis atau tidak? Tolong Anda tunjukkan kepada masyarakat Mentawai bahwa Anda layak dipercaya dan Anda bukanlah pemeras. Plisz deh!
___________
Frans R. Siahaan adalah Deputi Direktur YCM, tulisan ini pernah dimuat dalam Tabloid Puailiggoubat, No. 84, 15-30 November 2005
No comments:
Post a Comment