Tuesday, January 1, 2008

Proyek Toponimi dan Dugaan Korupsi

oleh Frans R. Siahaan

Sebagai kabupaten kepulauan, Pemda Mentawai memang sudah selayaknya melihat arti penting pendataan pulau di wilayahnya. Karena pulau sebagai salah satu sumber daya wilayah harus dikelola secara optimal, baik untuk keperluan ekonomi, ekologi, sosial-budaya, maupun keamanan (Mentawai hanya berbatasan laut dengan Negara India, Srilanka dan Maladewa).

Pendataan pulau di Mentawai semakin penting karena masih simpang-siurnya jumlah pulau, belum bakunya ejaan dan nama pulau, dan masih banyak pulau-pulau yang belum memiliki nama. Pulau yang dimaksud disini haruslah mengacu pada ketentuan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang mendefenisikan “Pulau adalah daerah daratan yang terbentuk secara alami dikelilingi oleh air dan ada di atas permukaan air pada saat air pasang”. Karena itu saya menyambut positif proyek toponimi pada tahun anggaran 2004 yang lalu. Hasil proyek ini diharapkan dapat disahkan oleh Pemda Mentawai, dan kemudian dilaporkan kepada pemerintah pusat, dan selanjutnya Pemerintah RI berhak dan wajib menerbitkan serta melaporkannya kepada dunia internasional sebagai salah bukti daftar inventaris sumber daya yang terdapat di wilayah kedaulatan RI.

Toponimi adalah ilmu yang mengkaji dan mempelajari permasalahan penamaan unsur geografi, baik buatan alam maupun manusia. Selain mempelajari masalah nama, ilmu ini juga mengkaji pembakuan penulisan, ejaan, pengucapan (fonetik), sejarah penamaan, dan hubungan (korelasi) antara nama dengan sumber daya sebuah unsur geografi. Dengan demikian toponimi juga sering dikenal sebagai ilmu penamaan unsur geografis yang dalam kajiannya menghasilkan daftar nama geografi atau disebut gasetir (gazetteer).

Berdasarkan pedoman United Nations Conference on the Standardization of Geographical Names (UNCSGN) No. 4 Tahun 1967, yang juga sudah menjadi pedoman baku dalam survei toponimi di Indonesia, ada 4 kaidah yang harus dipedomani dalam survei toponimi. Pertama, nama pulau hanya dapat diberikan oleh penduduk setempat, minimal 3 orang, yang dianggap mengetahui sejarah pulau tersebut. Kedua, dicatat posisi geografis, luasan, dan wilayah administrasi pulau. Ketiga, ucapan (fonetik) lokal dari nama pulau direkam dalam tape dan ejaan penulisan nama dikonsultasikan dengan masyarakat setempat. Dan Keempat, hasil survei secara keseluruhan disampaikan kepada masyarakat dan pemerintah setempat untuk mendapatkan persetujuan.

Empat kaidah yang menjadi pedoman dalam survei toponimi di atas tentunya sangat menekankan bahwa penamaan pulau harus dilakukan melalui kegiatan survei di lapangan dan bukan dikerjakan di belakang meja (desk study). Kegiatan penamaan pulau juga dilakukan dengan sangat menghargai kearifan dan budaya lokal.

Dalam proyek toponimi, data-data berupa citra satelit, peta, dokumen kadaster, laporan sensus, daftar nama pulau yang telah ada, serta dokumen resmi lainnya merupakan data awal yang dijadikan dasar sebelum menuju lokasi survei. Tim survei toponimi juga melengkapi diri dengan alat perekam suara dan visual, formulir isian survei toponimi, perangkat teknologi GPS-tracking, serta peralatan navigasi lainnya. Dan yang paling penting adalah informasi yang diperoleh dari masyarakat setempat maupun mereka yang tinggal dan berada di sekitar pulau, karena mereka lah yang mendapatkan prioritas utama untuk memberikan nama pulau, bukan tim proyek toponimi.

Namun demikian, hal ini berbeda jauh dengan proyek toponimi yang dikerjakan oleh Pemda Mentawai. Empat kaidah survei toponimi yang disyaratkan oleh UNCSGN 1967 dan yang sudah menjadi pedoman baku di Indonesia sama sekali tidak dipenuhi. Karena itu proyek Pemda Mentawai ini sangat tidak tepat disebut dengan proyek toponimi, disebabkan tidak adanya survei di lapangan dan semua pekerjaan dilakukan di belakang meja. Praktis kegiatan yang dilakukan lebih tepat disebut dengan otomatisasi peta. Otomatisasi peta adalah proses konversi (pengubahan) peta dari format manual atau format cetakan (hardcopy) menjadi format digital (softcopy) dengan menggunakan komputer sebagai alat penyimpanan, inventarisasi, dan kompilasi (penghimpunan) data.

Karena proyek ini lebih tepat disebut dengan otomatisasi peta, maka akan berdampak pula pada produk yang dihasilkan dan kepatutan pembiayaan proyek. Dari segi produk yang dihasilkan, proyek ini tidak berhasil menginventarisasi jumlah seluruh pulau yang ada di Mentawai. Hal ini terkait dengan 3 jenis peta sumber (source map) yang digunakan, yaitu Peta Garis Pangkal RI Skala 1:200.000, Peta BPN Skala 1:100.000, dan Peta Rupabumi Skala 1:250.000 terbitan Bakosurtanal. Dengan jenis peta sumber seperti ini dan produk akhir yang dihasilkan hanya direpresentasikan (ditampilkan) dalam peta skala 1:200.000, maka pulau-pulau yang berukuran kurang dari 0,36 km2 sama sekali tidak terliput di dalam peta dan tidak dapat dihitung jumlahnya.

Kemudian, jika saja tim proyek toponimi melakukan survei di lapangan dan bertanya kepada masyarakat setempat, maka seharusnya tidak muncul nama Pulau Setan, Pulau Simakakak, Pulau Pototogat, dan lain sebagainya pada proyek ini. Penamaan yang benar menurut masyarakat setempat adalah Pulau Rauk, Pulau Simakakkang, dan Pulau Putoutogat. Ini menunjukkan bahwa tim proyek tidak melakukan survei toponimi tetapi hanya otomatisasi.

Dari segi pembiayaan proyek, realisasi anggaran sebesar Rp. 399 juta dari target anggaran sebesar Rp. 400 juta,-, jelas-jelas merupakan anggaran yang mengada-ngada alias tidak masuk akal. Untuk 3 jenis peta sumber seperti disebut di atas, maka jumlah total keseluruhan sheet (lembar) peta yang dibutuhkan untuk pendataan seluruh pulau di Kab. Kep. Mentawai paling banyak sejumlah 32 lembar. Taruhlah harga setiap lembar peta sumber yang sudah tersusun dalam format digital sebesar Rp. 300.000 (ini sudah harga paling mahal, harga resmi di instansi pemerintah berkisar antara Rp. 150.000,- hingga Rp. 200.000,-), maka untuk pengadaan peta sumber hanya diperlukan biaya kurang dari Rp. 10 juta. Kemudian dilakukan pencetakan (print out) dan didokumentasikan dalam bentuk laporan dan CD, taruhlah biayanya sebesar Rp. 5 juta. Apabila ditambah dengan biaya-biaya jasa kontraktor atau konsultan (entah apalah namanya) dan administrasi proyek, katakanlah sebesar Rp. 40 juta (ini sudah termasuk harga yang cukup mahal), maka total biaya untuk proyek toponimi ini paling mahal sebesar Rp. 70 juta.

Lantas mengapa anggaran proyek toponimi ini sampai menghabiskan Rp. 399 juta lebih? Disinilah yang menjadi pertanyaan saya. Ada dugaan bahwa anggaran untuk proyek ini digelembungkan (mark up) atau ada dugaan korupsi pada proyek ini. Modusnya sama persis dengan pengadaan citra satelit Landsat pada APBD Tahun 2003 yang menurut Pemda Mentawai harganya sekitar Rp. 400 juta (Pualiiggoubat No. 27/2003), padahal harga citra satelit sebenarnya hanyalah Rp. 10 juta.

Tapi lagi-lagi dugaan korupsi pada proyek-proyek semacam ini tidak pernah diungkap dan diusut tuntas para penegak hukum. Apalagi dengan melihat kinerja Polres Mentawai dan Kejari Mentawai dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi memiliki catatan (track record) yang buruk. Tak satu pun proyek-proyek bermasalah yang diduga ada unsur korupsinya berhasil mereka tuntaskan. Sama seperti dugaan korupsi pada proyek pengadaan citra satelit pada APBD 2003, Saya juga pesimis bahwa dugaan korupsi pada proyek toponimi ini akan dapat diungkap dan para pelaku diseret ke pengadilan. Pak Polisi dan Pak Jaksa, Masyarakat Mentawai sudah gerah dengan kinerja Anda. Anda Mampu nggak sih?

____________

Frans R. Siahaan adalah Deputi Direktur YCM, tulisan ini pernah dimuat dalam Tabloid Puailiggoubat, No. 80, 15-30 September 2005

No comments: