Saturday, January 19, 2008

Bulagat Mengalir Sampai Jauh (Analisis Pilkada Mentawai)

oleh Frans R. Siahaan

Dua sahabat, masing-masing dari Siberut dan Sikakap, baru-baru ini mengungkapkan keresahan mereka tentang bom bulagat (uang) yang dijatuhkan para calon kepala daerah di tempat mereka. Dua pemuda yang asli Mentawai ini sangat khawatir bahwa pilkada kali ini hanya akan menghasilkan kepala daerah yang tidak bersih, tidak jujur, tidak adil, tidak berwibawa, dan korup. Asumsi dasar mereka sederhana saja, calon yang begitu royal menaburkan uang, sangat berpotensi menelikung suara rakyat, dan diduga keras akan berusaha mengembalikan uangnya dengan cara mengkorupsi uang rakyat ketika ia menjabat. Mereka sadar betul betapa dahsyatnya pengaruh bom uang dalam membunuh kehidupan demokrasi.

Praktek semacam ini lazim disebut dengan politik uang, walaupun sebenarnya politik uang tidak hanya terjadi pada saat pilkada saja. Repotnya, belum ada definisi yang tegas mengenai apa itu politik uang. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pun istilah ini tidak ditemukan. Namun demikian, berdasarkan pasal 110 UU No. 12/2002 tentang pemilu, politik uang dapat dilihat dari sisi pelaku dan sisi bentuknya yang menjanjikan dan atau memberikan uang dan atau materi lainnya kepada pemilih. Dengan demikian praktek politik uang dapat digolongkan sebagai tindak pidana suap.

Ada dua bentuk praktek politik uang yang diduga keras sudah terjadi dan akan terus terjadi pada pilkada Mentawai. Pertama, praktek beli calon, yakni tindakan membeli partai atau koalisi partai untuk diusung sebagai calon. Praktek ini marak muncul karena hanya partai yang berhak mengajukan calon. Sehingga individu yang memiliki uang akan mudah membeli partai sebagai kendaraan politik untuk maju sebagai calon. Praktek politik uang semacam ini diduga telah mampu memberikan gizi (baca: uang) yang tinggi kepada partai atau individu-individu penguasa partai di Mentawai. Tidak sulit untuk membaca partai atau koalisi partai mana saja di Mentawai yang melakukan praktek illegal ini.

Kedua, praktek beli pengaruh, yakni tindakan membeli individu atau kelompok tertentu di masyarakat untuk mempengaruhi suara pemilih. Praktek ini tumbuh subur karena sistem pilkada kali ini tidak lagi dipilih lewat DPRD, tetapi dipilih langsung oleh rakyat. Karena rakyat langsung yang memilih, maka sangat sulit untuk memastikan loyalitas rakyat pemilih kepada calon. Kalau dulu untuk menjadi kepala daerah cukup aman, mudah dan murah dengan hanya membeli loyalitas anggota DPRD, maka pada pilkada kali ini akan sangat berbeda dan mahal biayanya.

Ketidakpastian loyalitas pemilih, dan mahalnya biaya yang harus ditanggung untuk membeli suara pemilih, membuat praktek beli pengaruh lewat tokoh-tokoh masyarakat lebih efektif dimainkan. Apalagi ikatan primordial antara masyarakat Mentawai dengan tokohnya masih cukup kuat hingga hari ini, sehingga pengaruh tokoh bisa dimanfaatkan untuk mempengaruhi suara pemilih. Karena itu, Anda jangan heran melihat banyak tokoh yang muncul sebagai pendukung calon tertentu di kampung Anda.

Hebatnya lagi, praktek illegal ini tidak hanya dimainkan oleh calon, tetapi juga dengan cerdas ditangkap sebagai peluang bisnis oleh oleh germo-germo politik (meminjam istilah Dr. Tomagola) lokal. Diduga cukup banyak tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, bahkan PNS dan mahasiswa yang mempertontonkan lakon ini. Germo-germo politik ini secara vulgar sedang sibuk menawarkan suara dukungan ke berbagai calon yang sanggup membayar dengan sejumlah uang tertentu. Bagi mereka proyek lima tahunan ini terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja

Kalau di daerah lain tokoh agama dan mahasiswa menjadi benteng penjaga moral dan pengawal demokrasi, di Mentawai tampaknya bisa berbeda ceritanya. Prinsip mereka adalah maju tak gentar membela yang bayar, masa bodoh dengan moral dan demokrasi. Tentunya tidak semua tokoh, PNS dan mahasiswa terlibat praktek illegal ini, masih ada kok yang memiliki moralitas dan identitas.

Kelompok-kelompok oportunis juga cukup jeli membaca peluang bisnis pilkada ini. Mereka menawarkan proposal kepada calon dan membungkusnya dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan, kepemudaan, dan kemahasiswaan, hingga kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan perayaan kemerdekaan 17 Agustus. Saya tidak perlu menyebutkannya secara detil, tetapi Anda bisa lihat sendiri di kampung Anda. Dahsyat betul. Benar-benar ajang pesta pora dan uang mengalir sampai jauh dari hulu hingga hilir.

Masih dalam konteks beli pengaruh, barangkali incumbent adalah calon yang paling perlu untuk diwaspadai. Incumbent punya akses besar terhadap keuangan daerah (APBD), dan kemungkinan memanfaatkannya untuk memenangkan pilkada. Kegiatan seperti pemberian bibit gratis, pembagian beras gratis, peresmian dan sumbangan pembangunan rumah ibadah, serta bantuan uang untuk organisasi keagamaan, pemuda, dan mahasiswa yang dilakukan menjelang pilkada, patut diwaspadai sebagai praktek illegal yang menyalahgunakan uang publik.

Selain praktek-praktek di atas, masih ada paktek-praktek politik uang lainnya yang berpotensi terjadi pada pilkada Mentawai. Pertama, praktek beli penyelenggara pilkada, yakni tindakan menyuap penyelenggara dan pengawas pilkada mulai dari tingkat dusun/desa, kecamatan, hingga kabupaten. Praktek illegal seperti ini bisa dilakukan dengan cara berpihak pada salah satu calon dan merugikan calon lainnya, menggandakan jumlah pemilih, memasukkan surat suara tidak sah, membatalkan surat suara yang sah, hingga memanipulasi hasil perhitungan suara.

Tawaran praktek illegal seperti ini boleh jadi tidak hanya datang dari calon saja, tetapi juga dari oknum penyelenggara dan pengawas pilkada yang nakal. Tawaran biasanya dilakukan kepada calon yang memiliki dana besar dan kedekatan primordial (agama, suku, dan kekerabatan). Kita semua berharap semoga saja hal ini tidak terjadi.

Kedua, praktek beli suara, yakni tindakan memberi uang atau bentuk lainnya kepada pemilih agar pada saat pencoblosan memberikan suaranya kepada calon tertentu. Praktek illegal ini biasanya dilakukan menjelang saat-saat akhir pemilihan, atau dalam bentuk serangan fajar dengan bergerilya dari satu kampung ke kampung lainnya. Bentuknya bisa berupa pemberian kantong-kantong bahan kebutuhan pokok gratis yang disertai uang tunai di dalamnya, pemberian uang rokok, uang makan, hingga uang transport ke tempat pemungutan suara (TPS).

Praktek-praktek politik uang yang dipaparkan di atas adalah praktek illegal yang dilihat dari aspek pengeluaran calon. Dari aspek pemasukan, praktek politik uang juga berpotensi terjadi pada pilkada Mentawai, yakni masuknya aliran-aliran dana illegal, seperti yang dilarang dalam PP No. 6/2005. Persoalannya PP ini hanya mewajibkan pasangan calon untuk melaporkan rekening dana kampanyenya kepada KPUD, sementara partai politik yang mengusungnya tidak wajib. Disinilah peluang masuknya dana-dana illegal yang bersumber dari investor-investor politik yang mencukongi calon. Kepentingan investor politik ini bisa bermacam-macam, mulai dari kapling proyek hingga kapling kekayaan alam Mentawai, yang mereka dapatkan ketika calon yang mereka cukongi berhasil memenangkan pilkada.

Kembali pada keresahan dua pemuda Mentawai tadi, yang rindu akan munculnya kepala daerah yang bersih, jujur, adil, berwibawa, dan tidak korup, maka kita semua wajib mengawasi dan mengawal proses pilkada secara ketat. Biarkan saja bulagat mengalir sampai jauh, dan bahkan mungkin Anda pun menerimanya, tetapi pilihan hendaknya tetap ditujukan pada calon yang menurut Anda mampu membawa perubahan bagi Mentawai. Ingat, pilihan Anda akan sangat menentukan wajah Mentawai lima tahun ke depan.

Pertarungan Incumbent Dan New Comer (Analisis Pilkada Mentawai)

oleh Frans R. Siahaan

Pendaftaran pasangan calon bupati dan wakil bupati di KPU Mentawai pada 5 Juli lalu tuntas sudah. Seperti diduga sebelumnya, PDIP bersama PDS mengusung pasangan Edison Saleleubaja dan Yudas Sabagalet. Golkar berkoalisi dengan Demokrat mengusung pasangan Aztarmizi dan Aneksius Rulek Sikaraja. PBB dengan PKS, PP dan PIB menjagokan pasangan Antonius Samongilailai dan Panulis Saguntung. Sedangkan PKPI berkoalisi dengan parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD, yaitu PAN, PDK, PSI, dan PKPB untuk mengusung pasangan Stefanushok Satoko dan Mardan Syrbreiny.

PPD sebagai partai politik (parpol) pemenang pemilu legilatif 2004 yang lalu, tampaknya cukup percaya diri untuk mengusung pasangan calonnya sendiri, yaitu Kortanius Sabeleake dan Immerius Sakerebau. Jika tidak ada persoalan dengan persyaratan dan kelengkapan administrasi, maka dipastikan akan ada lima pasangan calon yang akan bertarung pada pilkada Mentawai nanti.

Koalisi parpol ternyata juga bukan tanpa masalah, karena pilihan untuk berkoalisi dan pasangan calon yang diusung telah dan sedang menuai konflik di tingkat internal partai. Hal ini disebabkan proses pencalonan dan calon yang diusung merupakan hasil keputusan yang elitis atau hanya keputusan sepihak pengurus parpol saja, sementara konstituen cenderung di-fait accompli atau tidak dilibatkan sama sekali.

Terlepas dari konflik internal partai, yang menarik untuk dicermati adalah bertarungnya kembali incumbent (kepala daerah/wakil kepala daerah yang masih menjabat dan turut menjadi calon). Kendati mekanisme pilkada saat ini menjadi lebih kompetitif karena dipilih langsung oleh rakyat dan bukan lagi hasil pilihan DPRD, namun tidak mengurangi minat banyak orang untuk meramaikan bursa pilkada Mentawai, termasuk bagi incumbent. Edison Saleleubaja (ES) dan Aztarmizi (Az) merupakan incumbent, sementara calon lainnya adalah new comer (pendatang baru).

Pertanyaannya adalah, seberapa besar peluang incumbent dan new comer untuk memenangkan pertarungan pilkada Mentawai? Analisis dengan menggunakan variabel hasil perolehan suara parpol pada pemilu legislatif 2004 yang lalu tampaknya sangat tidak relevan. Hal ini didasarkan pada fakta hasil pilkada di berbagai daerah sepanjang tahun 2005-2006, bahwa tidak ada korelasi (hubungan) yang kuat antara dukungan rakyat pada parpol pada pemilu legislatif 2004 dengan pilkada. Telah terbukti bahwa parpol yang menang dalam pemilu legislatif banyak mengalami kekalahan telak dalam pilkada. Sedangkan partai kecil atau gabungan partai guram muncul dengan kemenangan meyakinkan.

Analisis dengan menggunakan variabel parpol sebagai mesin politik beserta kekuatan koalisi yang menyertainya pun tampaknya juga tidak relevan. Secara teori, semakin kuat ikatan seseorang dengan parpol, maka semakin kuat pula kecenderungan orang tersebut untuk mendukung keputusan politik yang dibuat parpol, termasuk keputusan parpol untuk mencalonkan bupati. Tetapi ternyata teori politik ini tidak jalan atau menyimpang (anomaly) pada pilkada di banyak daerah di Indonesia.

Sebagai pemilih yang umumnya tinggal di pedesaan dan tingkat pendidikan yang masih rendah, saya yakin betul bahwa masyarakat Mentawai tidak peduli dengan yang namanya visi, misi, dan program yang digunakan calon sebagai platform pada kampanye nanti. Saya juga yakin bahwa janji-janji pada masa kampanye pilkada nanti tidak akan mendapat perhatian serius bagi pemilih. Pemilih sudah ”makan hati” dengan ”makanan” (janji-janji) yang disuguhkan pada pemilu legislatif yang lalu. Karena apa pun ”makanannya”, minumannya tetap ”teh pahit” bagi rakyat.

Lantas, variabel apa yang paling relevan untuk mengukur peluang calon dalam memenangkan pertarungan pilkada Mentawai? Belajar dari banyak kasus pilkada di Indonesia, tampaknya hanya variabel popularitas dan citra positif lah yang merupakan variabel penentu.

Membangun popularitas bukanlah hal yang instan, apalagi hanya dalam hitungan bulan atau pun pada masa kampanye yang 14 hari saja. Popularitas seharusnya dibangun jauh-jauh hari sebelum pilkada berlangsung. Popularitas yang dimaksud disini adalah, apakah para pemilih mengenal calon, dan kalau pun dikenal seberapa jauh pemilih mengenal mereka.

Melihat bursa calon yang ada, paling tidak ada 2 calon yang tidak begitu dikenal luas oleh publik Mentawai. Kedua calon itu lebih banyak menghabiskan karirnya di luar Mentawai. Kalau pun mereka dikenal publik, itu lebih banyak di daerah asalnya. Namun demikian, kita tetap harus mengacungkan jempol terhadap keterpanggilan mereka untuk maju sebagai calon. Paling tidak hal ini akan menjadi pembelajaran penting buat rakyat dalam berdemokrasi dan membuat pilihan-pilihan yang berkualitas. Toh rakyat jua lah yang akan menentukan apakah mereka bisa memenangkan pertarungan pilkada nanti atau tidak.

Hanya mengandalkan popularitas saja ternyata juga tidak cukup untuk memenangkan pertarungan pilkada, meskipun popularitas merupakan persyaratan yang paling mendasar. Masih diperlukan persyaratan lain, yaitu calon harus punya citra positif di mata publik. Kalau seorang calon populer, tapi pemilih memiliki kesan atau persepsi negatif terhadap calon tersebut, maka popularitasnya tidak akan banyak membantu. Hasil pilkada Sumbar tahun lalu contohnya, Mantan Gubernur Zainal Bakar pastilah sangat populer di mata publik Sumbar, mungkin mencapai angka 90%. Tapi sebagian besar dari yang mengenalnya memiliki persepsi negatif terhadap mantan gubernur ini, dan akhirnya dia pun gagal mempertahankan posisinya.

Dari contoh di atas, popularitas seorang incumbent bisa dimaknai ganda oleh publik. Ketika popularitas itu dimaknai sebagai akibat dari kebijakan yang terpuji dan berpihak pada rakyat pada saat menjabat, maka makna ini sudah memberikan modal kuat bagi incumbent. Sebaliknya, kalau popularitas itu dipetik karena kebijakan yang dinilai menyengsarakan rakyat, maka runtuhlah popularitas incumbent itu.

Melihat incumbent yang ikut bertarung, ES dan Az pastilah lebih populer dibandingkan calon lainnya. Modal utama bagi ES dan Az adalah popularitas yang sudah terbangun sejak mereka menduduki jabatan publik sebagai bupati dan wakil bupati, terlepas dari penilaian apakah popularitas itu bermakna positif atau negatif. Kemudian, hubungan yang sudah terjalin dengan berbagai perangkat pemda mulai dari tingkat kabupaten hingga ke tingkat desa/dusun akan memudahkan ES dan Az untuk memobilisasi dukungan. Perluasan basis dukungan akan semakin mudah karena peraturan perundang-undangan tentang pilkada sangat menguntungkan incumbent, yakni kepala daerah/wakil kepala daerah yang hendak maju lagi sebagai calon tidak harus mundur dari jabatannya, tetapi cukup hanya cuti pada masa kampanye saja.

Namun demikian, new comer juga tidak bisa dianggap remeh dan bisa saja memenangkan pertarungan secara tak terduga. Dalam banyak kasus di Sumbar misalnya, new comer mampu mengalahkan incumbent di sejumlah kabupaten/kota, seperti di Kabupaten Pasaman, Dharmas Raya, Pasaman Barat, Solok Selatan, dan Kotamadya Solok. Kemampuan new comer dalam memenangkan pertarungan pilkada lebih pada kejelian mereka untuk merebut popularitas dan membangun citra positif. Disinilah kecerdasan new comer dan tim suksesnya penting untuk membaca situasi dan menyusun strategi.


Dugaan saya pada pilkada Mentawai nanti, sekalipun calon memiliki popularitas, namun memiliki citra negatif sebagai koruptor, memperkaya diri, penimbun harta, penipu rakyat, penyalahguna wewenang, tidak punya kepedulian sosial, mempraktekkan pola hidup hedonis dan tidak bermoral, diduga akan sulit memenangkan pertarungan. Sekali lagi, calon yang mampu merebut popularutas dan membangun citra positif bagi publik Mentawai dalam waktu satu bulan ini, maka dialah yang akan memenangkan pertarungan pilkada nanti. Tentu dengan asumsi bahwa pilkada berlangsung degan fair play dan tidak curang. Selamat bertarung!

Friday, January 18, 2008

Koalisi Partai Politik, Efektifkah? (Analisis Pilkada Mentawai)

oleh Frans R. Siahaan

Fenomena menarik dari pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung sepanjang tahun 2005-2006 di berbagai daerah di Indonesia adalah maraknya berbagai koalisi-koalisian partai politik (parpol). Begitu pula halnya di Mentawai, koalisi berbagai parpol tak pelak lagi akan mewarnai arena pertarungan pilkada yang akan digelar pada tanggal 28 Agustus 2006 nanti. Tulisan ini bermaksud untuk menjelaskan bagaimana kemungkinan komposisi koalisi parpol di Mentawai, bagaimana para pemilih membacanya, dan seberapa efektif koalisi parpol tersebut untuk mendulang suara pada pilkada.

Koalisi menjadi penting karena berdasarkan UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah, maka parpol yang memenuhi persyaratan untuk mendaftarkan pasangan calon kepala daerah sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi di DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD.

Berdasarkan UU tersebut, maka dipastikan hanya PPD (20% kursi di DPRD, 22,33% suara), PDI-P (20% kursi di DPRD, 16,02% suara), dan PDS (15% kursi di DPRD, 9,86% suara) yang memenuhi persyaratan untuk mencalonkan pasangan calon kepala daerah secara independen tanpa harus berkoalisi dengan parpol lainnya, parpol sisanya harus berkoalisi.

Rumor yang berkembang di masyarakat saat ini menunjukkan bahwa kemungkinan PDIP akan berkoalisi dengan PDS. Kemudian, kemungkinan PBB (5% kursi di DPRD, 2.47% suara) akan berkoalisi dengan PKS (5% kursi di DPRD, 2,90% suara), PP (5% kursi di DPRD, 3,59% suara) dan PIB (5% kursi di DPRD, 3,09% di DPRD). Golkar (10% kursi di DPRD, 12,62% suara) kemungkinan akan berkoalisi dengan Demokrat (5% kursi di DPRD, 2,71% suara). Sementara itu, PKPI (10% kursi di DPRD, 7,24% suara) kemungkinan akan berkoalisi dengan parpol yang tidak memiliki kursi di parlemen, bisa dengan Partai Buruh (1,82% suara), PDK (4,10% suara), dan PAN (2,10%), atau merapat dengan parpol lainnya yang tidak memiliki kursi, atau dengan koalisi lainnya, sehingga memenuhi persyaratan akumulasi 15% suara.

Tampaknya hanya PPD yang akan mengajukan calon pasangan sendiri tanpa berkoalisi dengan papol lain. Dengan demikian kemungkinannya akan ada 5 pasangan calon pada pilkada Mentawai nanti. Kemungkinan ini bisa saja berubah menjadi 4 pasangan calon dengan sejumlah perubahan komposisi parpol yang berkoalisi. Hal ini tentunya akan sangat tergantung pada kesepakatan-kesepakatan akhir antara calon pasangan dan parpol yang mengusungnya pada detik-detik terakhir pendaftaran.

Jika rumor komposisi koalisi parpol di atas benar adanya dengan segala kemungkinan perubahannya, maka tampaknya parpol yang berazaskan nasionalis akan berkoalisi dengan parpol yang berazaskan agama. Seperti Partai Patriot (nasionalis) akan berkoalisi dengan PKS (Islam). Kemudian partai yang berseberangan ketika pemilihan presiden dan gubernur sumbar yang lalu, atau yang dulunya tergabung dalam koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan, tampaknya juga akan berkoalisi untuk membangun kerjasama dalam pilkada Mentawai nanti. Seperti Golkar misalnya akan berkoalisi dengan Demokrat. Namun tampaknya PDS sebagai parpol yang berazaskan Kristen tidak akan mungkin berkoalisi dengan PKS atau parpol lainnya yang berasaskan Islam, sekalipun di daerah lain hal itu bisa terjadi, seperti di Dumai misalnya.

Kemudian, hal penting lainnya adalah bahwa rumor pasangan calon yang diusung oleh koalisi parpol tersebut tampaknya kebanyakan bukan berasal dari politisi atau kader-kader parpol yang berkoalisi, tetapi berasal dari luar parpol. Hal ini menjadi bacaan kita untuk menjelaskan bahwa para politisi parpol tidak percaya diri untuk mengusung calon yang berasal dari parpolnya sendiri atau koalisi yang mereka bentuk, bisa jadi karena mereka tidak tidak laku dijual dan tidak populer di mata masyarakat. Bacaan lainnya adalah koalisi parpol ini hanyalah sekedar koalisi akrobatik agar elit-elit politik partai ”berpesta uang” lewat pasangan calon yang sanggup membayar dengan sejumlah harga tertentu.

Komposisi koalisi dan pasangan calon yang diusung juga cukup untuk menjelaskan bacaan bahwa koalisi ini sangat cair dan tidak permanen. Kepentingan parpol untuk berkoalisi bukan didasarkan pada kemiripan azas atau ideologi, apalagi untuk memperjuangkan nasib rakyat Mentawai yang tertindas dan yang rindu akan perubahan, tetapi lebih pada kepentingan praktis untuk merebut kekuasaan, faktor geopolitik lokal (Mentawai dan luar Mentawai), identitas (Orang Siberut, Sikakap atau Sipora), sentimen agama, dan yang paling penting seberapa besar pasangan calon sanggup membayar elit-elit politik partai yang berkoalisi.

Khusus untuk koalisi parpol yang ”maju tak gentar membela yang bayar”, perlu diberi catatan khusus. Pada pilkada Mentawai nanti diduga akan menjadi ajang pesta uang bagi para elit politik. Dapat dikatakan bahwa pilkada Mentawai ini merupakan ladang bisnis atau mega proyek para elit politik partai untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Salah seorang elit politik petinggi parpol yang berkoalisi dan yang juga anggota DPRD Mentawai tanpa malu-malu pernah mengatakan bahwa pilkada inilah kesempatan buat dia dan partainya untuk mengeruk uang dari pasangan calon yang berani membayar dengan sejumlah harga tertentu. Tentunya tidak demikian seluruhnya, saya masih menemukan segelintir orang elit politik partai yang juga anggota DPRD Mentawai yang tetap konsisten dengan keyakinan politiknya dan tidak mau melacurkan diri kedalam permainan politik yang tidak bermoral.

Pertanyaan penting selanjutnya adalah seberapa efektif koalisi ini sebagai mesin politik untuk mendulang suara dalam menggolkan calon pasangan yang diusung? Fakta-fakta hasil pilkada di berbagai kabupaten/kota dan propinsi di Indonesia selama tahun 2005-2006 menunjukkan bahwa tidak ada korelasi (hubungan) yang kuat antara dukungan rakyat pada parpol dalam pemilu legislatif dan dalam pilkada. Bahkan parpol yang menang dalam pemilu legislatif banyak mengalami kekalahan telak dalam pilkada. Sedangkan partai kecil atau gabungan partai guram muncul dengan kemenangan meyakinkan. Jadi, meskipun misalnya PDI-P dan PDS akan berkoalisi dan secara hitugan statistik mengantongi akumulasi suara yang signifikan pada pemilu legislatif yang lalu, yaitu sebanyak 25,89% suara dan 35% kursi di DPRD, tetap tidak ada jaminan bahwa koalisi parpol mereka akan sukses dalam mendulang suara untuk menggolkan pasangan calon yang diusung.

Belum ada penelitian tentang perilaku pemilih di Mentawai, tetapi diperkirakan akan mirip dengan perilaku pemilih di daerah-daerah lainnya di Indonesia sepanjang pilkada 2005-2006. Diperkirakan pilihan yang diberikan para pemilih pada pilkada Mentawai nanti lebih didasarkan pada popularitas pasangan calon dan citra positif yang melekat pada pasangan calon itu, dan bukan pada parpol atau koalisi parpol yang mengusungnya. Hanya pasangan calon yang populer dan memiliki citra yang positiflah yang akan memenangkan pertarungan pilkada Mentawai nanti.

Hal ini memang tidak mengherankan, karena parpol selama ini telah gagal dalam melaksanakan keempat fungsi dasarnya, yaitu sebagai agregator dan articulator (pengumpul dan penyalur aspirasi politik), representator (perwakilan politik), conflict regulator (manajemen konflik), serta educator dan recrutor politik (pendidikan dan rekrutmen politik). Situasi makin diperparah karena parpol sepertinya hanya menjadi milik petinggi parpol dan perkumpulan individu-individu, dan bukan menjadi milik bersama anggotanya. Akhirnya anggota parpol tidak pernah menjadi militan dalam mengusung ideologi dan panji-panji parpolnya, dan wajar-wajar saja mereka tidak mencintai parpolnya. Lihatlah parpol-parpol kita hanya bekerja pada saat menjelang ritual pemilu saja, dengan memobilisasi massa dan pawai arak-arakan yang tidak mencerdaskan rakyat. Setelah ritual pemilu selesai, parpol tidak lagi berkeja alias nyaris tak terdengar.

Kesimpulannya, pada pilkada Mentawai nanti koalisi parpol tidak akan efektif untuk menjamin kesuksesan dalam mendulang suara. Koalisi-koalisi parpol yang ada tidak lebih dari sekedar instrumen (alat) atau tiket untuk pencalonan pasangan bupati dan wakil bupati demi terpenuhinya persyaratan akumulasi 15%, dan ladang bisnis baru bagi elit-elit politik lokal. Tidak Lebih!

Tuesday, January 1, 2008

Jalan (Masih) Panjang Membangun Gerakan Sosial (Jelang Kongres I Masyarakat Adat Mentawai)

oleh Frans R. Siahaan

Setelah cukup lama dinantikan, akhirnya perhelatan Kongres I (pertama) Masyarakat Adat Mentawai akan segera digelar pada tanggal 7-10 April 2006 nanti di Tuapejat. Kongres ini akan dihadiri oleh perwakilan dari 44 organisasi masyarakat adat (OMA) tingkat laggai/pulaggaijat/langgai (selanjutnya untuk memudahkan akan saya sebut dengan laggai), 4 OMA tingkat kecamatan, dan juga beberapa peninjau dari Kalimantan Barat, Aceh, Jakarta, dan Padang. Total peserta yang akan hadir dalam kongres nanti direncanakan sebanyak 254 orang di luar panitia.

Sejarah pengorganisasian Masyarakat Adat Mentawai dimulai pada bulan Juni 2002, pada saat Masyarakat Adat Mentawai melangsungkan dialog publik tentang demokratisasi pengelolaan sumberdaya alam (SDA) Mentawai. Dialog publik ini dihadiri sebanyak 120 orang peserta dari pulau-pulau, dan beberapa perwakilan pemuda dan mahasiswa Mentawai yang ada di Padang dan Jakarta. Selesai pertemuan, semua peserta sepakat untuk membangun OMA yang legitimate, berakar dan berbasis dari komunitas-komunitas adat di laggai-laggai.

Pada saat itu juga disepakati bahwa OMA (tingkat kabupaten) tersebut untuk sementara diberi nama AMA-PM (Aliansi Masyarakat Adat Peduli Mentawai). Karena OMA harus memperoleh mandat dari komunitas-komunitas adat di laggai-laggai, maka OMA yang dibentuk masih bersifat ad hoc. Guna percepatan membangun OMA yang legitimate, maka saat itu disepakati untuk menetapkan dewan koordinator kecamatan yang tugas utamanya memfasilitasi pengorganisasian dan penguatan OMA di laggai-laggai untuk mendapatkan mandat pembentukan OMA tingkat kecamatan lewat musyawarah kecamatan, dan pembentukan OMA tingkat kabupaten lewat kongres.

Setelah hampir 3 tahun melakukan pengorganisasian, akhirnya sepanjang tahun 2004 hingga 2006 telah terbentuk 44 OMA di tingkat laggai. Kemudian, pada tahun 2005 juga telah terbentuk 4 OMA di tingkat kecamatan. Semua OMA tersebut telah mendapatkan mandat dari tiap anggota perorangan (individu) untuk OMA di tingkat laggai, dan mandat dari tiap lembaga untuk OMA di tingkat kecamatan (kumpulan OMA tingkat laggai). OMA di tingkat laggai dan kecamatan inilah yang nantinya akan menjadi peserta kongres I Masyarakat Adat Mentawai di Tuapejat.

Pada kongres ini, disamping akan merumuskan hal-hal yang berhubungan dengan kelembagaan, seperti visi dan misi, nilai-nilai, aturan-aturan, program kerja, keberlanjutan lembaga, dan tentunya kepengurusan OMA yang legitimate, maka sesungguhnya yang paling penting untuk didiskusikan adalah mendudukkan gagasan untuk membangun OMA yang kuat sebagai basis gerakan sosial di Mentawai. Gerakan sosial yang dimaksud disini adalah gerakan bersama dan terorganisir untuk mengusung agenda cita-cita perubahan di Mentawai. Cita-cita perubahan inilah yang melatarbelakangi gagasan terbentuknya AMA-PM pada Juni 2002 yang lalu, yaitu cita-cita adanya pengakuan akan hak-hak masyarakat adat Mentawai atas kehidupan sosial, ekonomi dan budaya, termasuk kedaulatan atas penguasaan hutan, tanah dan sumber-sumber penghidupan lainnya.

Dalam hal mendudukkan gagasan, saya berasumsi bahwa OMA di tingkat laggai dan kecamatan tidak lagi memiliki persoalan yang berarti. Asumsinya, persoalan gagasan sudah tuntas ketika tiap-tiap individu dan lembaga memutuskan untuk membangun dan bergabung dengan OMA di tingkat laggai dan kecamatan. Sekalipun demikian, menurut hemat saya internalisasi gagasan masih tetap perlu dibangun secara terus menerus untuk memastikan kesadaran gerakan. Tetapi berbeda halnya untuk OMA tingkat kabupaten yang akan dirumuskan pada kongres nanti. Mendudukkan persoalan gagasan merupakan hal yang paling penting dan kritis, karena OMA tingkat kabupaten ini merupakan organisasi payung bagi berbagai OMA yang berasal dari banyak laggai dan kecamatan, serta berasal dari berbagai latar belakang ideologi, asal usul, dan kepentingan yang boleh jadi berbeda. Salah satu diantaranya adalah munculnya kepentingan daerahisme yang mewujud dalam Siberutisme, Siporaisme, Pagaiisme, dan sebagainya.

Masih dalam mendudukkan gagasan, hal mendasar lainnya yang perlu didiskusikan peserta kongres adalah pijakan ideologi gerakan. Sebagai gerakan sosial, pijakan ideologi yang jelas akan menjadi dasar yang kuat untuk memperjuangkan tatanan relasi (hubungan) sosial-ekonomi-politik yang bersendikan pada keadilan sosial dan kedaulatan Masyarakat Adat Mentawai. Persoalan ideologi ini perlu dicermati para peserta kongres dengan cerdas, karena fakta menunjukkan bahwa ideologi kapitalisme dengan kebijakan neoliberalisme-nya bukan lagi hanya sekedar ancaman bagi Masyarakat Adat Mentawai, tetapi sekarang ini sudah terbukti melakukan pengepungan (enclosure-meminjam istilah Marx) terhadap sumber-sumber penghidupan Masyarakat Adat Mentawai di laggai-laggai lewat penjarahan dan penghancuran SDA.

Setelah persoalan gagasan (termasuk ideologi) menjadi jelas, maka yang perlu kemudian didiskusikan adalah strategi merebut dan memperkuat basis gerakan. Basis massa yang jelas dan kuat akan menjadi basis legitimasi bagi OMA untuk menyuarakan dan mendesakkan agenda perubahan yang dicita-citakan bersama. Tanpa basis massa, maka pihak lain akan memandangnya dengan sebelah mata dan tidak akan mendapat respon dari masyarakat banyak (stakeholders), dan boleh jadi akan kesepian dan anggotanya bosan serta menurun motivasinya, dan akhirnya organisasinya pun bubar dengan sendirnya. Disinilah peran pengorganisasian menjadi sangat penting.

Terkait dengan pengorganisasian, disamping hal-hal teknis, secara prinsip diperlukan orang-orang yang mampu mengorganisir dengan komitmen dan integritas yang tinggi, yaitu orang-orang yang mempunyai kemauan kuat untuk bertindak dan berbakti bagi Masyarakat Adat Mentawai, dan yang di mata masyarakat memiliki hidup yang lurus dan bukan menjadi penindas baru bagi Masyarakat Adat Mentawai.

Bagi saya, komitmen dan integritas merupakan persyaratan dasar untuk menjadi pemimpin yang akan dipilih pada kongres nanti. Pemimpin OMA tidaklah harus memiliki kapasitas yang hebat dengan keahlian dan kecerdasan yang tinggi, serta kemampuan orasi (bicara) yang meyakinkan. Karena persoalan kapasitas relatif lebih mudah untuk ditingkatkan, tetapi komitmen dan integritas hampir sangat sulit meningkatkannya. Sudah terbukti dalam perjalanan OMA atau organisasi-organisasi lainnya di laggai-laggai selama ini, telah terjadi penghianatan-penghianatan terhadap rakyat yang justeru dilakukan oleh para pemimpinnya.

Selanjutnya yang perlu didiskusikan peserta kongres nanti adalah strategi melokalisasi basis gerakan, yaitu dimana fokus wilayah gerakan dimulai (digalang). Sekalipun OMA ini nantinya berada di tingkat kabupaten, namun basis gerakan sebaiknya tetap berada di OMA tingkat laggai, yang diharapkan akan menjalar dan berkontribusi terhadap menguatnya OMA di tingkat kabupaten. Pertarungan di tingkat laggai memiliki peluang yang sangat besar untuk dimenangkan, karena kedaulatan ekonomi-sosial-politik masih bisa dibangun dan dipertahankan di laggai. Disamping itu, laggai memiliki parlemen lokal (Badan Perwakilan Desa), yang peluangnya lebih terbuka diadvokasi untuk menghasilkan kebijakan yang berpihak kepada Masyarakat Adat Mentawai.

Seiring dengan advokasi di tingkat laggai, advokasi di tingkat kabupaten juga sangat strategis untuk didiskusikan, terutama advokasi kebijakan daerah (peraturan daerah-perda) yang berkaitan dengan keberadaan Masyarakat Adat Mentawai. Seperti perda tanah adat, hutan adat, rencana tata ruang wilayah (RTRW), dan sebagainya. Advokasi ini merupakan salah satu strategi untuk menghindari gerakan yang bersifat reaktif dan tidak kreatif

Hal penting lainnya yang perlu didiskusikan dalam kongres nanti adalah partisipasi kongrit anggota (pengorbanan tenaga dan dana), peningkatan kapasitas, dan membangun jaringan. Ketiga hal ini merupakan elemen penting untuk memobilisasi sumberdaya, membangun kepercayaan (trust), melobi dan mengkampanyekan isu, hingga memperoleh dukungan dari pihak lain. Yang jelas, jalan masih panjang untuk membangun OMA yang kuat, dan kongres nanti merupakan garis start yang bagus untuk membangun gerakan sosial demi cita-cita perubahan di Mentawai. Selamat berkongres kawan, GBU!

____________

Frans R. Siahaan adalah Deputi Direktur YCM, tulisan ini pernah dimuat dalam Tabloid Puailiggoubat, No. 93, 1-14 April 2006

Hari Gini LKPj Masih Ngak Jujur?

oleh Frans R. Siahaan

Menyimak Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Bupati Kabupaten Kepulauan Mentawai dalam pengalokasian dan penggunaan dana APBD selama kurun waktu tahun 2004, pastilah menimbulkan banyak pertanyaan. Terkesan kuat bahwa LKPJ yang disampaikan tidak akuntabel dan tidak transparan. Padahal akuntabilitas dan transparansi merupakan dua prinsip utama dalam tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance).

Secara sederhana, akuntabilitas diartikan sebagai pertanggungjawaban/tanggung gugat pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat itu. Dalam konteks ini yang diberi mandat adalah Bupati Mentawai, dan yang memberi mandat adalah Rakyat Mentawai. Dalam LKPj, prinsip akuntabilitas menuntut kemampuan menjawab (answerability) yang berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana Bupati dan aparatnya menggunakan wewenang mereka, kemana sumber daya keuangan telah dipergunakan, dan apa yang telah dicapai dengan menggunakan sumber daya tersebut. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, sederetan indikator terukur adalah keharusan. Indikator ini lah yang digunakan untuk mengukur kinerja Bupati dan aparatnya baik secara kualitatif maupun kuantitatif, sekaligus sebagai alat kegiatan pemantauan dan evaluasi sasaran kegiatan/program.

Dalam LKPJ Bupati Mentawai, ketidakjujuran dalam mencantumkan indikator ini menjadi faktor utama yang menjadikan LKPj ini menjadi tidak akuntabel. Ambil contoh misalnya, pembangunan irigasi di Desa Taikako dan Pogari dengan nilai proyek sebesar Rp. 1,585 milyar. Semestinya tujuan pembangunan irigasi ini adalah untuk meningkatkan produktivitas pertanian masyarakat setempat. Tetapi apa lacur, setelah irigasi selesai dibangun, yang terjadi kemudian adalah saluran irigasi tidak bisa difungsikan dan sawah masyarakat malah tidak terairi. Alih-alih meningkatkan produktivitas pertanian, yang terjadi kemudian adalah proses pemiskinan masyarakat setempat. Tapi anehnya, dalam LKPj Bupati disebutkan bahwa tingkat capaian indikator keluaran (output) sukses 100%. Betul bahwa indikator masukan (input) uang untuk program ini habis 95,01% atau Rp. 1,505 milyar lebih, tetapi faktanya indikator proses (process), hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampak (impact) program ini gagal total alias tingkat capaiannya 0%. Disinilah letak ketidakjujuran LKPj ini.

Dalam hal transparansi, LKPj seharusnya memuat pelaksanaan suatu program dan hasil-hasilnya secara jujur dan terbuka, dan diketahui oleh publik Mentawai. Pada LKPJ Bupati, tidak transparannya suatu program tampak sangat gamblang. Dalam program pembentukan dan pelatihan kelompok tani misalnya dianggarkan dana sebesar Rp. 629 juta lebih. Di LKPj disebutkan bahwa kedua program ini telah dilaksanakan masing-masing di 31 desa dan di 41 desa dengan menghabiskan anggaran sebesar Rp. 550 juta lebih. Faktanya di banyak tempat pembentukan kelompok tani sama sekali tanpa bantuan fasilitasi dari Dinas Pertanian, tetapi atas inisiatif masyarakat sendiri. Hal ini bisa ditanyakan pada masyarakat di Desa Taikako, Saumangayak, Matobe dan di banyak tempat lainnya.

Demikian pula halnya program pelatihan kelompok tani. Di banyak tempat sama sekali tidak pernah dilakukan. Di Desa Matobe dan Pogari yang jaraknya hanya beberapa kilo meter saja dari ibukota kabupaten tempat berkantornya Dinas Pertanian, pelatihan sama sekali tidak pernah dilakukan di desa itu, apalagi di desa-desa yang jauh seperti di Siberut dan Pagai. Yang pernah ada hanyalah 1 kali pelatihan pertanian di Padang pada bulan Juli 2004, itu pun hanya diikuti sedikit kelompok tani, dan bahkan diikuti oleh mahasiswa. Pada akhirnya yang terjadi adalah dugaan program fiktif. Uangnya habis tapi program tidak sesuai dengan yang dilaporkan dalam LKPj, dan ujung-ujungnya adalah dugaan korupsi.

Contoh lainnya adalah program peningkatan jalan Simpang Mapadegat-Mapadegat tahap II dengan konstruksi rigid pavement sepanjang 3 km dengan nilai program sebesar Rp. 905 juta lebih. Dalam LKPj disebutkan bahwa proyek ini telah menghabiskan anggaran sebesar Rp. 881 juta lebih atau 97,38% dari anggaran yang direncanakan, dengan tingkat capaian indikator output dan outcome masing-masing 100%. Padahal apabila di-cek langsung di lapangan, ternyata peningkatan jalan konstruksi rigid pavement ini untuk Tahun Anggaran 2004 tidak sampai 3 km seperti yang disebutkan dalam LKPj, tetapi kurang dari 200 meter saja dengan lebar 2 meter.

Pada program pembuatan toponimi senilai Rp. 400 juta juga ditemukan ketidakjujuran serupa. Jika ouput-nya hanya sekedar peta lokasi kecamatan dan peta penyebaran pulau-pulau yang kemudian didokumentasikan dalam bentuk laporan dan CD, maka ada dugaan bahwa anggaran tersebut mengada-ngada alias digelembungkan (mark up).

Masih banyak contoh lainnya, tapi tulisan ini nanti bisa habis dimonopoli contoh, dan pihak redaksi akan kesulitan memuatnya. Yang jelas, tampaknya bahasa gaul tepat untuk menggambarkan situasi ini, hari gini LKPj masih ngak jujur?

Sikap tidak jujur seperti ini tidak akan pernah mencerdaskan dan memberdayakan rakyat Mentawai. Berapa lama lagi sih rakyat Mentawai dibohongi terus menerus? Bukankah ”kemerdekaan” Mentawai tahun 1999 bertujuan agar rakyat Mentawai tercerdaskan, terberdayakan, dan terpenuhi hak-haknya atas pembangunan? Mungkin telinga Anda akan ”merah” membaca tulisan ini. Tapi sudah terlalu lama ketidakjujuran ini terjadi. Cukup sudah, dan sekarang saatnya berubah. Yakinlah tidak akan pernah ada perubahan tanpa perbaikan, dan tidak akan pernah ada perbaikan tanpa ada orang yang mengingatkan (kritik). Sesungguhnya, kegagalan dalam menjalankan suatu program yang diakui secara jujur bukan berarti kiamat bagi jabatan Bupati dan jajarannya. Tetapi sebagai pembelajaran penting (lessons learned) untuk meningkatkan pelayanan publik pada tahun-tahun berikutnya.

Bagi DPRD, saya hanya mengingatkan saja, ini ujian kritis buat Anda untuk menjalankan fungsi pengawasan setelah dilantik. Rakyat Mentawai berharap banyak kepada Anda. Apa pun yang Anda temukan di lapangan sudah sepatutnya Anda sampaikan apa adanya kepada masyarakat lewat media-media yang ada. Kemudian setiap rapat-rapat pembahasan LKPj di gedung dewan haruslah terbuka, melibatkan kelompok-kelompok di luar pemerintah (non-goverment sector), dan dapat diakses dan dikritisi semua pihak. Prinsip yang paling penting, sebaiknya DPRD menilai LKPj Bupati secara objektif, bukan berdasakan suka dan tidak suka (like and dislike), dan tidak menjadikannya sebagai komoditas politik, apalagi jika sampai ada kesepakatan-kesepakatan di balik layar dengan eksekutif yang berbau politik uang (money politic). Kalau money politic terjadi, maka Anda telah turut serta dalam persekongkolan membohongi dan menghianati mandat rakyat Mentawai pada pemilu yang lalu. Dan jika situasinya demikian maka kelakuan Anda tidak jauh beda dengan anggota dewan yang lalu. Katakan yang benar itu adalah benar, dan katakan yang salah itu adalah salah. Sekali lagi, ini demi perubahan di Mentawai. Gitu loh!

____________

Frans R. Siahaan adalah Deputi Direktur YCM, tulisan ini pernah dimuat dalam Tabloid Puailiggoubat, No. 78, 15-30 Agustus 2005

Polisi+Jaksa (Mentawai) ≠ Memberantas Korupsi

oleh Frans R. Siahaan

Cara membaca judul di atas adalah, Polisi dan Jaksa di Mentawai tidak mampu memberantas korupsi. Betapa tidak? Tak satu pun kasus-kasus korupsi di Mentawai yang berhasil dibongkar dan dituntaskan oleh Polres dan Kejari Mentawai hingga hari ini.

Ketika kasus illegal logging Mentawai yang sarat dengan muatan korupsi ditangani oleh Polda Sumbar, dan kasus korupsi website mentawaionline ditangani oleh Kejati Sumbar, seharusnya ini menjadi tamparan telak bagi Polres dan Kejari Mentawai. Karena kedua kasus ini berada di wilayah kerja mereka. Tetapi mengapa justeru kedua kasus ini ditangani oleh Polda dan Kejati Sumbar? Pertanyaan yang seharusnya perlu direnungkan oleh Polres dan Kejari Mentawai.

Sekalipun dalam beberapa kali konferensi pers Kapolda dan Kajati menyatakan bahwa kasus-kasus Mentawai yang sedang mereka tangani saat ini merupakan hasil operasi intilijen, rasanya sulit untuk tidak percaya bahwa pastilah data-data kasus di atas ”dilaporkan” oleh pihak-pihak yang sudah gerah dengan perilaku korup pejabat-pejabat Mentawai yang vulgar. Menurut informasi yang Saya dapatkan, bahwa ”si pelapor” lebih percaya kepada Polda dari pada Polres, lebih percaya kepada Kejati dari pada Kejari. Sekali pun mungkin tidak sepenuhnya percaya 100%. Sekali lagi, ini soal kepercayaan Bung. Persoalan kapasitas rasanya standar dan tidak jauh beda, bukankah seluruh Polisi dan Jaksa di republik ini berasal dari pusat pelatihan dengan kurikulum yang sama?

Kasus illegall logging Mentawai dari hasil investigasi MAIL (2005) sangat erat hubungannya dengan korupsi kekuasaan dan korupsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dilakukan otoritas pejabat Mentawai. Paling tidak pintu masuk ke arah itu telah sedikit terbuka ketika masyarakat Saurenuk mengadukan kasus penyerobotan lahan dan pencurian kayu yang dilakukan oleh koperasi, perusahaan kayu dan keterlibatan pejabat kehutanan Mentawai ke Polres. Tetapi Polisi gagal untuk merespon informasi penting yang disampaikan masyarakat ini.

Begitu pula dengan kasus karupsi website mentawaionline, kasus ini sudah beberapa kali dimuat Pualiggoubat dalam pemberitaanya pada tahun 2004 yang lalu. Tetapi Polisi dan Jaksa menganggap sepi informasi ini dan mereka tidak kunjung bergerak. Saya yakin betul bahwa aparat in*****jen Polres dan Kejari Mentawai pastilah pernah membaca kasus ini, karena salah satu kegiatan rutin yang dilakukan para intel adalah meng-kliping infor-info penting yang dimuat media. Atau mungkin mereka hanya sekedar meng-kliping beritanya saja tanpa pernah memahami substansinya? Atau jangan-jangan mereka memang sama sekali tidak bekerja? Ndak taulah.

Sebenarnya banyak kasus dugaan korupsi yang sudah tercium baunya dan menjadi pembicaraan masyarakat banyak di Mentawai saat ini. Misal, dugaan korupsi pendidikan, infrastruktur (termasuk telekomunikasi), toponimi, radio, irigasi, alat berat, kapal, dan sebagainya yang nilainya milyaran rupiah. Tetapi tak satu pun kasus-kasus di atas berhasil dibongkar dan dituntaskan oleh Polisi dan Jaksa hingga hari ini.

Dalam beberapa kasus, Polisi di Mentawai malah banyak menelantarkan perkara tanpa ada kabar beritanya. Kasus yang paling anyar adalah pengaduan masyarakat Saurenu yang mengadukan koperasi, perusahaan kayu dan pejabat kehutanan Mentawai yang sampai sekarang belum ada kejelasan tindak lanjutnya. Padahal kasus ini sudah dilaporkan ke Polres sejak bulan Februari yang lalu. Ini menunjukkan sikap diskriminatif Polisi dalam penegakan hukum. Tetapi coba kita perhatikan kalau yang diadukan itu rakyat kecil, tampak akan lain ceritanya. Ini menunjukkan sebuah realitas bahwa hukum hanya tegas pada rakyat jelata, tetapi tumpul dan bergeming pada materi dan kekuasaan. Hukum di Mentawai hari ini seolah telah mendengungkan lonceng kematiannya. Persis seperti ungkapan Hugo Black, there can be no equal justice where the kind of trial a man gets depend on the amount of he has (tak akan pernah tercapai keadilan jika keadilan masih didasarkan pada besar kecilnya materi yang didapat).

Kita memang sering mendengar rumor di Mentawai tentang kepala-kepala dinas dan pimpinan-pimpinan proyek yang sering dipanggil ke kantor Polisi dan Kejaksaan dalam suatu dugaan kasus korupsi, atau malah Polisi dan Jaksa yang mendatangi kantor mereka. Tetapi kasusnya lenyap ditelan bumi dan tidak pernah kunjung dibawa ke pengadilan. Ada kesan kuat di masyarkat bahwa kegiatan ini hanyalah ”unjuk kekuasaan” Polisi dan Jaksa yang ujung-ujungnya adalah dugaan pemerasan.

Publikasi hasil penelitian Transparency International Indonesia (TII) Tahun 2004 menyebutkan bahwa Kepolisian merupakan satu dari tiga instansi paling korup di republik ini. Hal tersebut tidak mengejutkan dan bukan hal baru, karena selama ini masyarakat sudah lama tahu bahwa institusi Kepolisian tidak bersih dari korupsi. Mulai dari korupsi kecil-kecilan di tingkat operasi tilang kendaraan bermotor di jalan raya hingga korupsi besar semacam beking-membeking kegiatan illegal logging yang bernilai miliaran rupiah. Banyak aparat Polisi keranjingan bertindak mengabaikan hukum (disregarding the law), cenderung berlaku tidak hormat terhadap hukum (disrespecting the law), bersikap korup dan memeras (Satjipto Rahardjo, 2005).

Menurut Tamrin Tomagola (2005), lembaga kejaksaan jauh lebih parah lagi dan sangat vulgar memeras para tersangka. Besarnya uang perasan sangat tergantung kepada besarnya kasus yang melibatkan pelaku. Bahkan mulai dari berita acara pemeriksaan, penahanan hingga soal penangguhan penahanan bisa dinegosiasikan, tergantung besar kecilnya upeti (Taufik Ruki-KPK, 2005).

Kelakukan Polisi dan Jaksa seperti ini hampir tidak ada bedanya dengan pemerasan yang dilakukan preman. Bedanya hanya preman tidak berseragam sementara Polisi dan Jaksa berseragam. Kemudian preman dibiayai oleh orang-orang yang diperas sementara Polisi dan Jaksa dibiayai oleh negara. Tetapi perilakunya sama atau beti (beda-beda tipis). Saya tidak tau apakah demikian juga ceritanya di Mentawai, biarlah masyarakat Mentawai sendiri yang menilai.

Korupsi di Mentawai dapat dilihat dari sekolah-sekolah yang rubuh walaupun tidak ada guncangan gempa di atas 7,5 Skala Richter, sekolah-sekolah tidak layak pakai walau umur bangunannya baru 2 tahun, jalan-jalan berlobang seperti kubangan kerbau walaupun tiap tahun milyaran rupiah dikucurkan untuk biaya perawatan, saluran irigasi hanya berumur 3 bulan padahal masyarakat belum sempat menggunakannya, dan sebagainya. Dampak korupsi sudah sangat jelas membuat masyarakat Mentawai menderita, karena itu sudah seharusnya Polisi dan Jaksa di Mentawai menjadi penegak hukum yang berwatak protagonis (meminjam istilah Prof. Satjipto Raharjo). Protagonis adalah pro-rakyat, yaitu pro-penderitaan rakyat. Masyarakat Mentawai sudah lama menantikan aksi kongkrit Polisi dan Jaksa dalam mengungkap kasus-kasus korupsi. Apalagi korupsi di Mentawai memiliki rezim yang kokoh, jejaringnya ke mana-mana dari hulu hingga ke hilir, dari pusat kabupaten hingga ke dusun-dusun, walaupun aktor intelektualnya tetap lebih banyak berada di pusat kabupaten.

Tulisan ini ingin menyimpulkan bahwa Polisi dan Jaksa di Mentawai belum responsif dalam mengusung agenda pemberantasan korupsi, dan tampaknya masyarakat Mentawai harus menunggu entah sampai kapan untuk memiliki Polisi dan Jaksa yang benar-benar berdedikasi besar, melayani dan melindungi rakyat Mentawai. Padahal semua instrumen anti korupsi telah ada di tangan Polisi dan Jaksa.

Pak Polisi dan Pak Jaksa, Anda mau tunggu apa lagi? Alat kekuasaan untuk membongkar semua kasus-kasus korupsi di Mentawai telah ada di tangan Anda. Persoalannya hanyalah apakah Anda mau menjadi Polisi dan Jaksa yang protagonis atau tidak? Tolong Anda tunjukkan kepada masyarakat Mentawai bahwa Anda layak dipercaya dan Anda bukanlah pemeras. Plisz deh!

___________

Frans R. Siahaan adalah Deputi Direktur YCM, tulisan ini pernah dimuat dalam Tabloid Puailiggoubat, No. 84, 15-30 November 2005

Proyek Toponimi dan Dugaan Korupsi

oleh Frans R. Siahaan

Sebagai kabupaten kepulauan, Pemda Mentawai memang sudah selayaknya melihat arti penting pendataan pulau di wilayahnya. Karena pulau sebagai salah satu sumber daya wilayah harus dikelola secara optimal, baik untuk keperluan ekonomi, ekologi, sosial-budaya, maupun keamanan (Mentawai hanya berbatasan laut dengan Negara India, Srilanka dan Maladewa).

Pendataan pulau di Mentawai semakin penting karena masih simpang-siurnya jumlah pulau, belum bakunya ejaan dan nama pulau, dan masih banyak pulau-pulau yang belum memiliki nama. Pulau yang dimaksud disini haruslah mengacu pada ketentuan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang mendefenisikan “Pulau adalah daerah daratan yang terbentuk secara alami dikelilingi oleh air dan ada di atas permukaan air pada saat air pasang”. Karena itu saya menyambut positif proyek toponimi pada tahun anggaran 2004 yang lalu. Hasil proyek ini diharapkan dapat disahkan oleh Pemda Mentawai, dan kemudian dilaporkan kepada pemerintah pusat, dan selanjutnya Pemerintah RI berhak dan wajib menerbitkan serta melaporkannya kepada dunia internasional sebagai salah bukti daftar inventaris sumber daya yang terdapat di wilayah kedaulatan RI.

Toponimi adalah ilmu yang mengkaji dan mempelajari permasalahan penamaan unsur geografi, baik buatan alam maupun manusia. Selain mempelajari masalah nama, ilmu ini juga mengkaji pembakuan penulisan, ejaan, pengucapan (fonetik), sejarah penamaan, dan hubungan (korelasi) antara nama dengan sumber daya sebuah unsur geografi. Dengan demikian toponimi juga sering dikenal sebagai ilmu penamaan unsur geografis yang dalam kajiannya menghasilkan daftar nama geografi atau disebut gasetir (gazetteer).

Berdasarkan pedoman United Nations Conference on the Standardization of Geographical Names (UNCSGN) No. 4 Tahun 1967, yang juga sudah menjadi pedoman baku dalam survei toponimi di Indonesia, ada 4 kaidah yang harus dipedomani dalam survei toponimi. Pertama, nama pulau hanya dapat diberikan oleh penduduk setempat, minimal 3 orang, yang dianggap mengetahui sejarah pulau tersebut. Kedua, dicatat posisi geografis, luasan, dan wilayah administrasi pulau. Ketiga, ucapan (fonetik) lokal dari nama pulau direkam dalam tape dan ejaan penulisan nama dikonsultasikan dengan masyarakat setempat. Dan Keempat, hasil survei secara keseluruhan disampaikan kepada masyarakat dan pemerintah setempat untuk mendapatkan persetujuan.

Empat kaidah yang menjadi pedoman dalam survei toponimi di atas tentunya sangat menekankan bahwa penamaan pulau harus dilakukan melalui kegiatan survei di lapangan dan bukan dikerjakan di belakang meja (desk study). Kegiatan penamaan pulau juga dilakukan dengan sangat menghargai kearifan dan budaya lokal.

Dalam proyek toponimi, data-data berupa citra satelit, peta, dokumen kadaster, laporan sensus, daftar nama pulau yang telah ada, serta dokumen resmi lainnya merupakan data awal yang dijadikan dasar sebelum menuju lokasi survei. Tim survei toponimi juga melengkapi diri dengan alat perekam suara dan visual, formulir isian survei toponimi, perangkat teknologi GPS-tracking, serta peralatan navigasi lainnya. Dan yang paling penting adalah informasi yang diperoleh dari masyarakat setempat maupun mereka yang tinggal dan berada di sekitar pulau, karena mereka lah yang mendapatkan prioritas utama untuk memberikan nama pulau, bukan tim proyek toponimi.

Namun demikian, hal ini berbeda jauh dengan proyek toponimi yang dikerjakan oleh Pemda Mentawai. Empat kaidah survei toponimi yang disyaratkan oleh UNCSGN 1967 dan yang sudah menjadi pedoman baku di Indonesia sama sekali tidak dipenuhi. Karena itu proyek Pemda Mentawai ini sangat tidak tepat disebut dengan proyek toponimi, disebabkan tidak adanya survei di lapangan dan semua pekerjaan dilakukan di belakang meja. Praktis kegiatan yang dilakukan lebih tepat disebut dengan otomatisasi peta. Otomatisasi peta adalah proses konversi (pengubahan) peta dari format manual atau format cetakan (hardcopy) menjadi format digital (softcopy) dengan menggunakan komputer sebagai alat penyimpanan, inventarisasi, dan kompilasi (penghimpunan) data.

Karena proyek ini lebih tepat disebut dengan otomatisasi peta, maka akan berdampak pula pada produk yang dihasilkan dan kepatutan pembiayaan proyek. Dari segi produk yang dihasilkan, proyek ini tidak berhasil menginventarisasi jumlah seluruh pulau yang ada di Mentawai. Hal ini terkait dengan 3 jenis peta sumber (source map) yang digunakan, yaitu Peta Garis Pangkal RI Skala 1:200.000, Peta BPN Skala 1:100.000, dan Peta Rupabumi Skala 1:250.000 terbitan Bakosurtanal. Dengan jenis peta sumber seperti ini dan produk akhir yang dihasilkan hanya direpresentasikan (ditampilkan) dalam peta skala 1:200.000, maka pulau-pulau yang berukuran kurang dari 0,36 km2 sama sekali tidak terliput di dalam peta dan tidak dapat dihitung jumlahnya.

Kemudian, jika saja tim proyek toponimi melakukan survei di lapangan dan bertanya kepada masyarakat setempat, maka seharusnya tidak muncul nama Pulau Setan, Pulau Simakakak, Pulau Pototogat, dan lain sebagainya pada proyek ini. Penamaan yang benar menurut masyarakat setempat adalah Pulau Rauk, Pulau Simakakkang, dan Pulau Putoutogat. Ini menunjukkan bahwa tim proyek tidak melakukan survei toponimi tetapi hanya otomatisasi.

Dari segi pembiayaan proyek, realisasi anggaran sebesar Rp. 399 juta dari target anggaran sebesar Rp. 400 juta,-, jelas-jelas merupakan anggaran yang mengada-ngada alias tidak masuk akal. Untuk 3 jenis peta sumber seperti disebut di atas, maka jumlah total keseluruhan sheet (lembar) peta yang dibutuhkan untuk pendataan seluruh pulau di Kab. Kep. Mentawai paling banyak sejumlah 32 lembar. Taruhlah harga setiap lembar peta sumber yang sudah tersusun dalam format digital sebesar Rp. 300.000 (ini sudah harga paling mahal, harga resmi di instansi pemerintah berkisar antara Rp. 150.000,- hingga Rp. 200.000,-), maka untuk pengadaan peta sumber hanya diperlukan biaya kurang dari Rp. 10 juta. Kemudian dilakukan pencetakan (print out) dan didokumentasikan dalam bentuk laporan dan CD, taruhlah biayanya sebesar Rp. 5 juta. Apabila ditambah dengan biaya-biaya jasa kontraktor atau konsultan (entah apalah namanya) dan administrasi proyek, katakanlah sebesar Rp. 40 juta (ini sudah termasuk harga yang cukup mahal), maka total biaya untuk proyek toponimi ini paling mahal sebesar Rp. 70 juta.

Lantas mengapa anggaran proyek toponimi ini sampai menghabiskan Rp. 399 juta lebih? Disinilah yang menjadi pertanyaan saya. Ada dugaan bahwa anggaran untuk proyek ini digelembungkan (mark up) atau ada dugaan korupsi pada proyek ini. Modusnya sama persis dengan pengadaan citra satelit Landsat pada APBD Tahun 2003 yang menurut Pemda Mentawai harganya sekitar Rp. 400 juta (Pualiiggoubat No. 27/2003), padahal harga citra satelit sebenarnya hanyalah Rp. 10 juta.

Tapi lagi-lagi dugaan korupsi pada proyek-proyek semacam ini tidak pernah diungkap dan diusut tuntas para penegak hukum. Apalagi dengan melihat kinerja Polres Mentawai dan Kejari Mentawai dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi memiliki catatan (track record) yang buruk. Tak satu pun proyek-proyek bermasalah yang diduga ada unsur korupsinya berhasil mereka tuntaskan. Sama seperti dugaan korupsi pada proyek pengadaan citra satelit pada APBD 2003, Saya juga pesimis bahwa dugaan korupsi pada proyek toponimi ini akan dapat diungkap dan para pelaku diseret ke pengadilan. Pak Polisi dan Pak Jaksa, Masyarakat Mentawai sudah gerah dengan kinerja Anda. Anda Mampu nggak sih?

____________

Frans R. Siahaan adalah Deputi Direktur YCM, tulisan ini pernah dimuat dalam Tabloid Puailiggoubat, No. 80, 15-30 September 2005

Mengapa Harus Beras dan Meminggirkan Sagu?

oleh Frans R. Siahaan

Selama puluhan tahun, di Indonesia berkembang anggapan bahwa masyarakat yang memakan beras lebih “terhormat”, lebih “modern”, dan lebih “berbudaya”, dibandingkan masyarakat yang mengkomsumsi jagung, ubi, keladi, atau sagu sebagai bahan pangan pokok lainnya.

Pemahaman ini semakin dikuatkan oleh politik pangan pemerintah yang “memaksakan” beras menjadi makanan pokok seluruh rakyat negeri yang Bhinneka Tunggal Ika ini. Pemerintah menganggap bahwa ekonomi suatu keluarga dikatakan sejahtera apabila keluarga itu sanggup makan nasi. Politik pangan ini semakin diperparah dengan kebijakan penyaluran beras miskin (raskin). Seolah-seolah semua rakyat miskin di negeri ini membutuhkan beras sebagai makanan pokok. Padahal makanan pokok hanyalah salah satu sumber asupan karbohidrat yang juga bisa diperoleh dari berbagai bahan pangan lain.

Sagu misalnya, menurut Prof. Astawan dari IPB, hasil penelitian menunjukkan bahwa tepung sagu memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, yaitu mengandung 84,7 g per 100 g bahan. Kadar karbohidrat tersebut setara dengan yang terdapat pada tepung beras, singkong, dan kentang. Bahkan dibandingkan dengan jagung dan terigu, kandungan karbohidrat sagu relatif lebih tinggi. Kandungan energi dalam 100 gram tepung sagu (353 kkal) hampir setara dengan bahan pangan pokok lain berbentuk tepung, seperti beras, jagung, singkong, kentang, dan terigu. (Kompas, 05/03/04)

Lebih lanjut Prof. Carmencita dari UNPAD mengatakan bahwa ditinjau dari segi gizi, singkong, sagu, ataupun beras sama- sama membutuhkan lauk-pauk yang baik untuk memperoleh gizi seimbang bagi tubuh. Tidak bisa hanya menggantungkan pada nasi semata tanpa lauk-pauk lain untuk mendapat makanan bergizi baik (Kompas, 17/01/04). Dalam prakteknya nenek moyang orang Mentawai begitu cerdasnya yang secara turun-temurun telah menerapkan konsep diversifikasi komsumsi pangan, yaitu dengan mengkombinasikan sagu dengan ikan-termasuk lokan-dan hewan (sebagai sumber protein) dan berbagai sayuran (sebagai sumber vitamin, mineral, antioksidan, dan serat pangan) untuk mendapatkan gizi seimbang.

Sebenarnya tidak ada alasan untuk mengganti sagu dengan beras. Namun anehnya, dalam acara Pelatihan Kelompok Tani 2004 yang diadakan di Hotel Pangeran City Padang beberapa waktu yang lalu, M. Iqbal Salakkau, Staf Seksi Penyuluhan Dinas Pertanian dan Peternakan Kab. Kep Mentawai mengatakan bahwa masyarakat perlu merubah pola pertanian dari sagu ke beras (Haluan, 22/07/04, Singgalang, 23/07/04).

Membicarakan sagu (Metroxylon sagu) di Mentawai pastilah selalu merujuk ke Siberut, karena masyarakat asli Mentawai di pulau ini umumnya masih mengkomsumsi sagu sebagai makanan pokok. Ada beberapa alasan mengapa kita harus tetap mempertahankan sagu di Siberut dan tidak menggantinya dengan beras.

Pertama, hanya sedikit lahan di Siberut yang sesuai untuk tanaman padi, yaitu sekitar 7%-10% dari luas total Siberut. Lahan ini umumnya lahan gambut yang terdapat pada satuan lahan (land unit) alluvial dan marin di pesisir timur Siberut. Itu pun tidak semua tanah pada kedua satuan lahan tersebut dapat dibuat persawahan. Pada tanah Hydraquents, Tropohemists, dan Troposamments pembuatan sawah sama sekali tidak direkomendasikan. Kalaupun pada kedua satuan lahan tersebut dibuka menjadi persawahan, maka harus mengeluarkan investasi yang cukup besar untuk pembiayaan masukan teknologi berupa pengaturan tata air, pengendalian erosi, pelumpuran dan banjir, peningkatkan kesuburan tanah, dan tindakan konservasi. Karena kedua satuan lahan ini memiliki sistem drainase yang buruk, kandungan unsur hara yang miskin, serta sangat rawan terhadap erosi, pelumpuran dan banjir yang berasal dari satuan lahan di atasnya. Dengan demikian investasi pembukaan sawah dan biaya perawatan yang harus dikeluarkan untuk budidaya padi tidak sebanding dengan produksi beras yang dihasilkan. Kita harus belajar dari kasus kegagalan mega proyek penuh ambisius yang dilakukan oleh Soeharto pada pembukaan lahan sejuta hektar di lahan gambut Kalimantan Tengah, karena persoalan keterbatasan daya dukung lahan (carrying capacity) dan pembiayaan.

Kedua, tanaman sagu, kebun campuran, bakau, dan semak belukar umumnya terdapat pada satuan lahan alluvial dan marin. Ekosistem pada kedua satuan lahan ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan ekosistem lainnya yang terdapat di Siberut. Perubahan ekosistem karena ketidakcermatan dalam pembukaan lahan sawah untuk tanaman monokultur padi akan mempengaruhi ekosistem lainnya, dan pada gilirannya akan merusak karakter hidro-orologis Siberut yang memang sangat rawan. Pada akhirnya kerusakan ini bukan hanya berdampak pada manusia, flora, fauna, dan bencana alam, tetapi juga akan turut menyusutkan luasan P. Siberut dalam jangka panjang.

Ketiga, Sagu merupakan makanan pokok yang merupakan bagian dari budaya masyarakat asli Siberut yang telah diwariskan sejak turun temurun. Tidak ada budaya menamam padi bagi masyarakat asli Siberut. Kalaupun ada yang mencoba menanam padi, itu karena proyek pemerintah dan pengaruh dari para pendatang, itu pun umumnya tidak berhasil. Seorang bapak dari Salappa’ yang sudah biasa ke Padang mengatakan bahwa rasanya belumlah makan kalau belum makan sagu. Sama seperti orang Jawa yang merasa belum makan kalau belum makan nasi. Membiasakan makan nasi bagi masyarakat Siberut hanya akan membuat masyarakat sangat tergantung pada beras. Padahal kalaupun sawah dibuka, maka hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan beras masyarakat Siberut saja pun tidak mencukupi karena keterbatasan luasan lahan dan daya dukung lahan, sehingga mau tidak mau beras harus diimpor dari luar. Padahal harga beras di Siberut sangat tinggi dan daya beli masyarakat masih sangat rendah. Apalagi Indonesia merupakan pengimpor beras terbesar di dunia yang harga beras lebih ditentukan oleh pasar global dan kebijakan Jakarta. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi kemudian jika masyarakat telah terbiasa dengan beras, sementara untuk membeli beras tidak sanggup, maka ancaman kelaparan akan terbuka lebar.

Mencermati alasan-alasan di atas, maka pernyataan M. Iqbal Salakkau yang notabene putera asli Siberut, tentang perlunya masyarakat Mentawai merubah pola pertanian dari sagu ke beras adalah kekeliruan besar. Sagu telah terbukti selama ini sebagai sumber ketersediaan pangan (food availability), kualitas pangan (food quality), kemudahan memperoleh pangan (food accessibility), serta sekaligus meningkatkan ketahanan pangan (food security) di Mentawai. Justeru seharusnya yang perlu dilakukan Pemda adalah bagaimana agar sagu ditingkatkan budidaya dan produksinya dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, dan bagaimana agar sagu memiliki keunggulan kompetitif yang dapat meningkatkan ekonomi rumah tangga dan membuka lapangan kerja. Di Kalimantan dan Papua, sagu bukan hanya sebagai makanan pokok tetapi juga telah menjadi industri rakyat untuk bahan utama pembuatan kue, mie bihun, dan bahkan untuk campuran pembuatan lem yang dikirim ke Jawa dan bahkan diekspor ke negara-negara Asia Timur, terutama Jepang.

Disamping berupa kapurut dan siobbuk, dari bahan dasar sagu juga dapat dihasilkan beragam produk makanan yang menarik, seperti skotel, aneka keik, kue talam, lompong sagu, puding, kue kenari, kue tart, bolu, atau “kue modern” lainnya. Tergantung kreativitas kokinya. Toh pengolahan bahan sagu hanya menggunakan teknologi sederhana, namun perlu diperhatikan agar tetap higienis. Satu atau dua tahun ke depan, ketika mengikuti acara-acara resmi yang diselenggrakan oleh Pemda Mentawai, saya merindukan suguhan aneka makanan yang terbuat dari bahan sagu sebagai makanan khas dan kebanggan masyarakat Mentawai . Moi pa’?

___________

Frans R. Siahaan adalah Deputi Direktur YCM, tulisan ini pernah dimuat dalam Tabloid Puailiggoubat, No. 55, 1-4 September 2004